Jumat, 28 Desember 2012

Sejarah dan Hukum Adat Dayak Agabag Hasil Iliau Kunyit dan Intin



BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengantar
            Ditinjau dari perspektif sejarah instrumen hak asasi manusia secara umum, pengakuan yuridis terhadap hak asasi masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas antropologis yang secara turun temurun, sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang and Tribal People in Independent Countries.
            Namun bagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial  ( zoon politicon ) yang dalam kehidupannya selalu terkait secara melembaga dengan manusia lainnya, baik dalam hubungan paguyuban (gemeinschaftich) yang lazim terdapat dalam masyarakat tradisional maupun dalam hubungan patembayan (gesellschftilich) yang umumnya digunakan dalam dunia modern. Kecenderungan umum yang terlihat dengan jelas adalah tatanan masyarakat bergerak dari hubungan paguyuban kearah hubungan patembayan.
            Perlu kita perhatikan bahwa dalam mendirikan Negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, visi para pendiri Negara tentang Negara baru yang akan dibentuk itu adalah suatu Negara yang tetap memelihara semangat hubungan paguyuban antara rakyat dan pemerintah dan sebaliknya antara pemerintah dengan rakyat walaupun mau tidak mau tatanan kenegaraan secara formal akan bersifat hubungan patembayan. Itulah sebabnya mengapa hampir tanpa kecuali para pendiri Negara menolak dicantumkannya pasal-pasal hak asasi manusia dalam Undang-Undang 1945, yang pada saat itu dipahami sebagai manifestasi dari individualisme dan liberalisme yang bersifat perseorangan belaka. Sayangnya visi kenegaraan yang bersifat mendasar ini tidak tercantum secara eksplisit dalam dictum pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, tetapi hanya dalam penjelasannya sehingga bukan saja tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetapi juga tidak cukup kuat untuk dijadikan rujukan untuk membentuk Undang-Undang organik Yang diperlukan sebagai payung hukum untuk melindungi masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang bersifat paguyuban. Sebagai akibatnya, secara berkelanjutan masyarakat hukum adat yang merupakan komunitas antropologi yang berskala kecil, dan berada pada posisi lemah baik dari segi sosial, ekonomi, maupun politik, dan hidup tersebar diseluruh pelosok Tanah Air, telah terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Syukurnya, pada tataran internasional kesadaran akan perlunya perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang umumnya disebut sebagai indigenous peoples-berlanjut terus, sebagai bagian dari keseluruhan kelompok rentan ( vulnerable groups ) yang memerlukan perlindungan khusus, baik oleh karena perjuangan yang tidak henti-hentinya dari para pegiat hak asasi manusia maupun sebagai tindak lanjut dari komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti tercantum dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Juni 1945) maupun dalam Deklarasi Universal hak asasi manusia (Desember 1948). Mau tidak mau, kemajuan yang dicapai pada tatanan internasionol ini telah menciptakan suatu situasi yang menguntungkan bagi perlindungan hak masyarakat hukum adat ini pada tataran internasional.
            Di Indonesia, peluang untuk memberikan perlindungan konstitusional yang lebih kuat terhadap masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya ini baru terbuka dalam era reformasi. Perlindungan terhadap masyarakat hukum adat ini secara kronologis tercantum dalam pasal 41 ketetapan MPR Nomor TAP XVII/MPR/1998 Tentang hak asasi manusia, pasal 6 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan dalam Pasal 19 B ayat (2) serta Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua tahun 2000. dengan kata lain, visi kenegaraan para pendiri bangsa tentang pentingnya penghormatan terhadap semangat paguyuban yang antara lain terkandung pada tatanan masyarakat hukum adat pada tahun 1945 itu baru dapat dituangkan ke dalam instrumen hukum positif setelah berlalu waktu selama 53 tahun dan setelah terjadi goncangan besar dalam kehidupan politik dan kehidupan ekonomi.
            Walaupun demikian, pengakuan yuridus konstitusional terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya terebut tidaklah dapat di tindaklanjuti secara serta marta, oleh karena itu keseluruhan sistem hukum positif nasional yang berkembang selama lebih dari setengah abad bukan saja tentang tidak memberi legal standing kepada masyarakat hukum adat, tetapi juga telah mengeluarkan demikian kebijakan, peraturan, serta keputusan yang secara  efektif telah menghasilkan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional itu. Sebagai akibatnya, telah terjadi demikian banyak konflik, sebagian di antaranya telah menimbulkan Korban nyawa, terutama berkisar pada masalah pertahanan, antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga, baik dengan institusi pemerintahan sendiri maupun dengan perusahan-perusahan swata yang memperoleh berbagai bentuk perizinan untuk mempergunakan tanah ulayat masyarakat hukum adat dari institusi pemerintahan tersebut.
            Sesuai dengan tujuan pembentukan Komosi Nasional Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Pasal 75 Undang-undang No. 29 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manuisa, dan telah mengadakan penataan kembali organisasi sejak bulan juni tahun 2004, Komisi Hak Asasi Manusia cq. Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah memasukkan tema perlindungan masyarakat hukum adat ini ke dalam program kerjanya, dan untuk itu telah menugaskan seseorang komesioner untuk menengani dan menindak lanjuti tema ini.
            Sehubungan dengan itu, komisioner di Sub Komisi Hak sipil dan Politik dan Sub Komisi Perlindungan Kelompok Khusus, serta dengan berbagai stakeholders laninya dalam lembaga-lembaga Negara dan dalam masyarakat, sejak bulan juni 2004 tersebut Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah mengadakan serangkaian pengkajian, baik dalam bentuk focused group discussions,lokarya nasional, maupun seminar nasional. Tujuan seluruh pengkajian ini adalah selain untuk memperoleh pemahaman serta informasi mutakhir tentang masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, untuk menyusun saran kebijakan yang perlu untuk disampaikan kepda Negara, dalam hal ini kepada pemrintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI, yang secara konytitusional merupakan duty bearer dari perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia ini.

B. Pengertian, kretaria, dan Hak Masyarakat Hukum Adat
1. Pengertian
            Yang dimaksud dengan ‘Masyarakat Hukum Adat’-atau istilah lain yang sejenis seperti ‘masyarakat adat’ atau ‘masyarakat tradisional’ atau the indigenous people-dalam persefiktif ini adalah suatu komonits antropoligi yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan histories dalam mesteri dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah yang selanjutnya.

2. Rician Krteria
    a. kretaria obyektif
1.    merupakan komunitas antropologis, yang sedikit banayknya homogen.
2.    mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah maupun   rohaniah suatu wilayah leluhur (homeland) tertentu atau , sekurang-kurangnya dengan sebagain daerah tersebut.
3.    adanya suatu Identitas dan budaya yang khas, serta sistem sosial dan hukum yang
4.    bersifat tredisional, yang sunguh-sungguh diupayakan mereka untuk melestarikannya dengan berbagai upaya untuk tetap melestarikan.
5.    tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada tapi terkadang menjadi suatu kekuatan patrialis untuk menyatukan suatu kekuatan politik dalam mengangkat derajat dan martabat kaumnya dalam bidang politik dan ekonomi.

    b. kriteria subyektif
    1)  Identifikasi diri (self Identification) sebagai suatu komunitas antropologi dan
         Mempunyai keinginan yang kuat untuk secara aktif memilihara identitas diri mereka
    2) Dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologi tersebut sebagai suatu  Komunitas yang terpisah.

Catatan
*   Dari sisi kewilayahan, suatu masyarakat hukum adat adalah berdiri sendiri, tetapi dari segi kultural masyarakat hukum adat yang bersangkutan merupakan bagian dari komunitas antropologi yang lebih besar, yang disebut etnik dan suku bangsa.
*   Sebagai komunitas antropologi yang lebih besar, etnik dan suku bangsa selain terdiri dari masyarakat hukum adat yang masih berdiam ditanah leluhurnya juga mencakup warga masyarakat hukum adat rantau, yang walaupun tidak lagi berdiam ditanah leluhur mereka tetapi masih merasa mempunyai dan memelihara ikatan historis,cultural,sosial, dan psikologis dengan masyarakat hukum adatnya tersebut.
*   Antara sesama warga etnik terdapat jeringan komunitas sosial yang berlanjut, baik bersifat formal maupun bersifat informal.






    3. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat
       a. Hak Perseorangan sebagai warga negara
            Sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak   asasi yang sama dengan warga negara lain.
       b. Hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat
            Sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturalnya maupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat dan lainnya yang berhubungan dengan hukum adat.
       c. Hak Atas Pembangunan
           Hak-hak tersebut diatas merupakan bagian dari atas pembangunan, yang menurut deklarasi PPB tentang hak atas pembangunan,1986 dan konvensi ILO Tahun 1989 Tentang kelompok Minoritas dan masyarakat hukum adat dinegara- negara merdeka secara menyeluruh terdiri dari sebagai berikut :
1.    Hak untuk menentukan nasib sendiri (right of internal self determination).
2.    Hak ikut turut serta dalam pemerintahan (right of participation).
3.    Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi (right to good, healeth, habitat, and economic security).
4.    Hak atas pendidikan (right to iducation).
5.    Hak atas pekerjaan (right of work).
6.    Hak anak ( right of children).
7.    Hak pekerja ( right of workers).
8.    Hak minoritas dan masyarajat hukum adat (right of minorities and indigenous people).
9.    Hak atas tanah (right to land).
10. Hak atas persamaan (right to equality).
11. Hak atas perlindungan lingkungan (right to environmental protection).
12. Hak atas pelayanan administrasi pemerintah yang baik (right to administrative due process).
13. Hak atas penegakan hukum yang adil (right to the rule of law).

C. Latar Belakang Sejarah Tentang Keberadaan Masyarakat Hukum Adat

   1. Tinjauan antropologik
a.    Masyarakat hukum adat dikepulauan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah amat tua jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun Negara Indonesia.
b.    Secara historia warga masyarakat hukum di Indonesia serta etnik yang melingkupinya sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia, yaitu budaya berladang berpindah-pindah, petani sawah dengan tanaman masyarakat serta hak kepemilikan yang ditaati secara konflik, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat.
c.    Masing-masing masyarakat hukum adat mulanya mempunyai agama sukunya sendiri, yang kemudian beralkulturasi dengan agama dunia yang datang dari luar, seperti agama agama hindu,agama budha, agama islam, agama Kristen. Kelihatannya kedatangan agama-agama tidaklah menghapuskan sama sekali pengaruh agama-agama suku yang ada sebelumnya.
d.    Dalam politik, beberapa teknik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya dan membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun yang berukuran regional, seperti Sriwijaya dan Majapahit atau suatu kesadaran bersama mau menyatukan kekuatan politik untuk mensejajarkan keberadaan suatu suku tertentu bagi mereka yang tidak memiliki adat dan budaya patrialis ataupun kerajaan-kerajaan.

      2. Kontak Dengan Dunia Barat: Dekrit  Tordesilas doktrin 1494 rex nullius dan Asas Regalia
a.    Sestela Christopher Columbus ‘menemukan ‘ benua África pada tahun 1492, dengan Dekrit Tordesilas tahun 1994 kerajaan Portugal dan Spanyol membagi dunia dalam dua wilayah pengaruh. Kepulauan indonesia dinyatakan sebagai wilayah pengaruh kerajaan portugis, yang baru datang kepulauan ini pada tahun 1511. sekadar catatan: kepulauan Filipina dinyataka berada dibawah pengaruh kerajaan Spanyol.
b.    Sesuai dengan doktrin rex nillius dan asa regalia yang dianut pada saat itu, seluruh wilayah pengaruh tersebut dinyatakan secara sepihak sebagai milik raja yang bersangkutan, termasuk wilayah kerajaan-kerajaan tradisoinal serta tanah ulayat suku-suku bangsa indonesia. Doktrin rex nillius dan asal regalia ini dilanjutkan oleh rangkaian kerajaan eropa lainnya, yang secara berurutan menguasai kepulauan indonesia, yaitu kerajaan Belanda / 1 (1799-1808), Kerajaan Perancis (1808-1811), dan sebagai penyela, Kekaisaran Jepang (1942-1945).

   3. Kolonialisme Belanda, asas Divide et Impera
         a.   Kerajaan Belanda menjabarkan asas regalia 1494 tersebut dengan domein verklaring dalam Agrarische wet 1870, yang secara eksplisit menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya kepemilikan atasnya adalah milik kerajaan.
         b.   Sudah barang tentu pelaksanaan asas regalia dan domein verklaring tersebut tidak bisa diterima baik oleh kerajaan-kerajaan tradisional maupun masyarakat hukum adat, yang sudah ada selama ratusan tahun dikepulauan nusantara. Mereka melancarkan perlawanan yang gigih,yang mengharuskan kerajaan-kerajaan eropa tersebut mencari strategi yang lebih canggih daripada sekedar penaklukan militer untuk maksud ini kerajaan Portugal dan kerajaan Belanda menciptakan politik kolonial yang lumayan canggih untuk mengusai kepulauan nusantara yang berpeduduk amat mejemuk, yaitu politik devide et impera, pecah belah dan kuasai. Untuk maksud itu mereka perlu memahami secara mendalam keanekeragam-an masyarakat indonesia yang Sangat mejemuk itu.
         c.   Baik didorong oleh motivasi keilmuan maupun terkait dengan urgenesi kebijakan pemerintahan kolonial dipelopori oleh prof. C. van Vollenhoven dan prof. Mr. B. Terhar dalam Zaman Hindia Belanda telah tumbuh dan berkembang studi hukum adat serta masyarakat hukum adat. Kedua pakar hukum adat ini menengarai ada 19 buah lingkungan hukum adat (aeaterechts keringen) di Indonesia. Desa dijawa dan daerah-daerah setingkat seperti nagari di minangkabau  dan marga di sumatera selatan disebut sebagai masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschappen).
         d.   Berdasar pemahaman yang mendalam tehadap ane-kara-gam hukum adat indonesia in resmi ko-lo-nial Hindia Belanda mengadakan penyesuai kebijakannya dengan konteks sosio-kultural masyarakat indonesia, antara lain dengan menbada-kan antara daertah-daerah diperintah lang-sung (directe bestuur gemiet) dipulau jawa dan madura, dengan daerah yang diperintah secara tidak lang-sung (indirecte bestuur gebied)melalui kepala-kepala adatnya diluar pulau jawa.

   4. Dinamika Posisi Etnik dan Masyarakat Hukum Adat
a.    Dalam alam kolonial, berdama dengan pengembangan studi masyarakat hukum adat tersebut, dalam tahun 1930 pemerintahan Hindai Belanda mengadakan sensus pendudukan, yang mencakup pengumpulan data mengenai suku bangsa atau etnik masyarakat hukum adat dapat di pandang sebagai bagai dari etnik atau suku bangsa.
b.    Dalam alam kemerdakaan, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
1)    Dalam merancang Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri Negara eksisntesis masyarakat hukum adat yang bersifat asli ini ter-masuk hak ulayat mereka. Pederian ini dilanjutkan oleh Undang-undang pokok agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang persiapka Sejas Tahun 1948.
2)    Walaupun demikian pengakuan terhadap masyarakat uhkum adat ini tidak dilaksanakan secara kosisten karena tidak sebab,yaitu :
a.    Ketidakmengertian pemerintahan pusat tentang kemejemuka cultural   Masyarakat Indo-nesia serta inflikasinya, yang antara lain yang terlihat pada undan-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang pemertintahan desa yang menyamaratakan pemerintah desa menurut model pemerintah desa di pulau jawa.
b.    Kebutuhan investor terhadap tanah sejak ta-hun 1967, khususnya dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, yang menyebabkan pemerintah bersama dengan DPR RI mengeluarkan serangkaian undan-undang yang secara in concreto menafikan hak masyarakat hukukm adat atas tanah ulayat,. Baik langsung maupun secara tidak langsung, seluruh undang-undang tentang investasi sejak tahun 1967 ini bukan saja menghidupkan kembali doktrin res nullius dan asas regalia yang bersifat imperialistic dan merupakan warisan abad ke 16 tersebut, tetapi juga melaksanakan konsep neo-liberalisme model The Washington Consensus yang hendak mencabut fungsi kesejahateraan Negara dan menyerahkannya kepada kekuatan pasar. Republik Indonesia belum mempunyai data mengenai jumlah, lokasi, serta luasnya tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat ini.
c.    Tumbuhnya kecnderungan intralisasi pemerintahan yang sangat kuat, yang menyebabkan kemunduran studi hukum adat dan masyarakat hukum adat, dan masyarakan hukum adat, antra lain oleh kerna anggapan bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat ini inkom­­-patibel  dengan semangat kebansaan dan bahawa masalah hukum adat dan masyarakat hukum adat ini dipandang sebagai bagian dari masa-lah SARA(suku, agama, ras, dan antara golongan ) yang marupakan salah satu ancaman terhadap nasional.
3)    Baru pada tahun 2000-yaitu 70 tahun setelah sensus penduduk pertama dan setela 45 tahun Indonesia merdeka dapat diadakan sensus kedua ini menampilkan banyak data baru yang bukan saja telah mengubah banyak asumís yang dianut mengenai masalah etnik dan masyarakat hukum adat ini, tetapi juga mempunyai implikasi ke bidang kebijakan, khusus kebijakan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi tugas pokok komnas HAM. Dari sensus tahun 2000 ini, dengan memakai tolok ukur sel-identification, telah dapat dicatat adanya 1.072 buah etnik atau suku bangsa. Hukum adat.

Keadan Dewasa Ini
1. Adanya Kondisionalitas terhadap Status Yuridis dan Hak Masyarakat Hukum Adat.
a.    Berbeda dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, yang secara otomatis memberikan pengakuan terhadap adatrechts gemeenschap, Pemerintah Republik Indonesia tidak secara otomatis memberikan pengakuan tersebut. Baik dalam Pasal 28 I ayat (3) undang-undang Dasar 1945 maupun berbagai undang-undang organiknya terdapat berbagai klausula dan syarat-syarat yang bersifat limitatif bagai pengakuan eksistensi hukum adat.
b.    Cláusul yang terdapat dalam Pasal 28 I ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, TAP No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah :
1.    Sepanjang masyarakat hukum adat tersebut masih ada.
2.    Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban
3.    Sesuai dengan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
4.    Diatur dalam Undang-undang

2. Pelangaran Berlanjut terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat
a.    Walaupun eksistensi dan hak –hak mesyarakat hukum adat secara formal diakui di Undang-undang Dasar 1945, terutama hak atas tanah ulayat, namun dalam kenyataannya hak-hak tersebut secara berkelanjutan telah dilanggar, baik oleh Pemerintahan maupun pihak Non Pemerintah. Perlu dicatat bahwa adakalanya pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya ini berjuang pada pelanggaran hak sipil dan politik. Pelanggaran hak-hak secara berkelanjutan tersebut merupakan salah satu factor terjadinya konflik horizontal dan atau konflik vertical, yang tidak jarana memakan korban nyawa dan harta.
b.    Pengakuan yuridis terhadap statu masyarakat hukum adat mampunyai arti penting, oleh karena itu menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, masyarakat hukum adat dapat menjadi Pemohon dalam sutatu perkara konstitusional. Sebagai konsekuensinya, suatu masyarakat hukum adat yang tidak atau belum mempunyai legalitas akan menghadapai kendala dalam membela hak-haknya, yang memang sudah sering terjadi baik oleh aparatur negara maupun oleh pihak ketiga lainnya .
c.    Pada beberapa masyarakat hukum adat telah terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan untuk beribadah menurut agama dan keyakinan dari masyarakat hukum adat, baik yang dilakukan oleh Amat seagama maupun oleh umat yang berlainan agama.

3. Perlindungan Hukum Internasional Hak Asasi Manusia terhadap Masyarakat Hukum Adat (The-Indigenous Peoples)
a.    Berhadapan dengan ketidak konsistenan system hukum nasional Indonesia terhadap status yuridis dan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut,komunitas Perserikatan Bangsa. Bangsa memberikan perhatian dan perlindungan khusus terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat hukum adat-adat the indigenous peoples sebagai dari Vulnerable groups.
b.    Instrumen hukum internasional hak asasi manusia yang melindungi masyarakat hukum adat antara lain adalah :
1.   Konvensi ILO 169 Tahun 1989 Tentang Masyarakat Hukum Adat dan    Suku Bangsa di Negara-negara merdeka.
2.   Draf Declaration on the Rights of the Indigenous People.
c.    Di Asia Negara yang selain sudah mencantumkan pengakuan terhadap eksistensi dan jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat adalah Negara Filipina.
d.    Sesuai dengan BAB 2 Pasal 7 Draf Declaration on the Rights of the Indegenous People beberapa hal-hal yang dapat menyebabkan pemusnahan etnis atau pengancuran budaya etnis tertentu adalah :
1.    Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akibat yang mencerabut masyarakat hukum adat dan integritas mereka sebagai masyarakat hukum adat yang memiliki kekhasan dengan nilai-nilai identitas yang di miliki turun temurun.
2.    Setiap tindakan yang mempunyai tujuan yang berakibat dengan perempasan tanah, wilayah, atau sumber daya alam dengan mengatasnamakan kepentingan Negara atau undang-undang atau alibi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah dan Negara.
3.    Setiap bentuk pemindahan penduduk ( relokasi ) yang mempunyai tujuan dan berakibat terhapusnya generasi yang mengetahui riwayat suatu daerah karena pergentian generasi baru yang tidak tahu hak-hak mereka dalam wilayah yang di tinggalkan dulunya.
4.    Setiap bentuk asimilasi atau akulturasi budaya asal dengan budaya luar dengan pola hidup yang merupakan hasil dari asimilasi budaya yang di lakukan sistematik secara administrative.
5.    setap bentuk propaganda yang diarahkan terhadap masyarakat hukum adat.hukum adat mencakup hak sipil dan politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
e.    beberapa organisasi masyarakat hukum adat indonesia telah ikut aktif dalam kegiatan internasional ini, baik yang tergabung dalam aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) maupun tidak.

4. Posisi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
*   Dalam meleksanakan fungsi dan kegiatannya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Posisi Komisi Nasional Hak Asasi manusia adalah menerima, mengakui, dan menghormati eksistensi dan identitsa kultural dan agama / keyakinan masyarakat hukum adat seperti yang dirumuskan sendiri oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
*   Masyarakat hukum adat adalah suatu badan hukum (legalentity) yang memperoleh legalitas dan legitimasinya dari sejarah dan dari peraturan per Undang-undangan negara.
*   Baik masyarakat hukum adat itu sendiri mupun adat istiadat serta kebudayaan yang menjadi dasar pembentukannya tumbuh dan berkembang secara dinamis dan perlu memperoleh kesempatan atau mengambil menfaat dari perkembangan kehidupan budaya diluarnya, khususnya dalam konteks pembangunan manusia (human develoment).
*   Sesuai dengan pasal  70 undang-undang tersebut diatas, dalam menjalankan hak dan kebebasannya sertiap orang tentunya termasuk warga masyarakat hukum adat wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tututan yang adil sesuai dengan pertimbanagan moral, kaemanan, ketertiban umum dalam sautu masyarakat  demokratis.
*    Dalam meleksanakan pembatasan yang tercantum dalam undang-undang tersebut, sesuai dengan hak untuk berpatisipasi dalam pemerintahan dan masyarakat hukum adat diupayakan keikutsertaan dari lapisan kepemimpinan dari masyarakat hukum adat bersangkutan.









  



BAB II
PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
              
               Dalam manindak lanjuti pengakuan terhadap masyarakat hukum adat berdasar Pasal 18 B ayat (2) Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 51 ayat (1) Huruf b UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 6 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tenatang Hak Asasi Manusia., Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), dan departeman dalam negeri RI memrlukan kejernihan hati, makna dan tafsir dari empat persyaratan Konstitusional yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat hukum adat atau ‘Masyarakat Tradisonal’ atau ‘Masyarakat Adat’. Dapat memperoleh lagel standing. Empat syarat Konstitusional itu adalah : (1) sepanajng masih hidup; (2) sesuai dengan perkembagan masyarakat; (3) sesuai dengan prisip Negara kesatuan Republik Indonesia; dan (4) diatur dengan undang-undang.
                        Untuk memperoleh kejernihan tersebut, Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan depertemen dalam negeri bersama dengan deperteman / instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan akademisi. seperti lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Asasi Hukum Adat, yang di ikuti oleh 106 orang baik dari tingkat daerah dan tingkat nasioanal, dengan peninjauan dari the united nations development faund (UNDP). Dalam acara pembukan lokakarya tersebut di hadiri oleh beberapa pihak dibawah ini:
a.    Mentri Dalam Negeri RI, diwakili oleh Staf Ahli Bidang Pemerintahan,    Ir.Timbul Pudjianto, MPM.
b.    Ketua Komnas HAM diwakili oleh Wakil Ketua Komnas HAM, Zoemrotin K. Susilo
c.    Ketua Mahkamah Konstitusi diwakili oleh Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Janedjri M. Gaffar.
      Dalam lokakarya nasional bertindak sebagai panelis adalah :
a.    Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Guru besar Emeritus Universitas Diponegoro, dengan Makalah: “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum)”
b.    Prof. Soetandyo Wignyosoebroto,MPA,Guru besar Emeritus Universitas Airlangga, dengan makalah: “ Pokok-pokok Pikiran Tentang “Empat Syarat Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat”
c.    Drs.Dardjo Sumardjono Direktur Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Depertemen Dalam Negeri, dengan makalah: Penjabaran Empat Persyaratan Yurdis Masyarakat Hukum Adat dalam Peraturan Daerah.
d.    Dr.Stay Arinanto, SH,MH, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan makalah: HAM dan Indigenous Peoples: Beberapa Catatan.
e.    Dr. Saafroedin Bahar, Komisioner Bidang Hak Masyarakat Hukum Adat, Komnas HAM, dengan makalah: Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Empat Persyaratan Yurdis Eksistensi Masyarakat Hukum Adat.
f.     Drs. H.Anwar Saleh, Drs.H.Anwar Saleh, Lembaga Adat Melayu Riau, dengan makalah: Pelanggaran Sistematis Terhadap Hak Atas Tanah Ulayat dan Salah Satu Format Solusi untuk Mencegah dan Menyelesaikannya.
g.    Dr.Sri Hartanto, Staf Ahli Menteri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan persentasi berjudul: Keterkaitan Penghormatan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dengan Kebijakan Pariwisata Nasional.
h.    Ir Indriastuti, MM,Staf Ahli Menteri Departemen Kehutanan dengan makalah: Pengakuan Keberadaan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia.
i.      Dr.Ir.Irwan Bahar,Staf Ahli Menteri Bidang Sumber Daya Mineral dan Teknologi,Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dengan makalah: Hak Masyarakat adat Di dalam Undang-undang Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dalam lokakarya tersebut terdapat beberapa kesimpulan seperti memberikan penghargaan terhadap diselenggarakan lokakarya nasional mengenai masyarakat hukum adat dan pencarian jati diri masyararakat hukum adat terutama beberapa kesatuan masyarakat hukum adat yang penamaan sukunya tidak jelas yang di berikan oleh negara karena keterbatasan pemerintah pada saat itu yang baru pertama kalinya diadakan oleh lembaga-lembaga Negara yang bersifat lintas sektor yang terjadi dalam sejarah Republik Indonesia dan mengharapkan agar komunikasi langsung yang telah terbuaka antara para stakeholders masyarakat hukum adat dengan instansi pemerintah di tingkat pusat ini bisa dipelihara dan dikembangkan selanjutnya di masa mendatang dan saran kepada setiap sub suku masyarakat hukum adat agar terus mengkaji keberadaan sukunya karena banyak kesalahan pemberian nama oleh negara pada saat itu dan tidak menutup kemungkinan terdapat perubahan nama, pergeseran makna pada komunitas suku tertentu di nusantara.

2.   Analisis Konseptual
a.    Untuk mengatasi keterbatasan paradigma positivisme hukum dalam memahami arti dan makna konsep dari pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi dan undang-undang harus didalami paradigma dan ide yang melatarbalakanaginya, bersamaan dengan selalu mengaitkan ide dan konsep tersebut dengan kenyataan, serta meresapinya dengan empathy, care, dan concern. Pasal-pasal undang-undang tidak dapat dipahami suatu yang sudah selesai dan bersifat finite, tetapi sebagai sesuatu yang selalu berproses. Sehubungan dengan itu, bersamaan dengan melaksanakan hukum positif perlu diberikan perhatian yang seimbang kepada pengembangan politik hukum dan konteks sosial-budayanya.
b.    Dalam hubungan ini dikhawatirkan bahwa rangkaian refomasi yang dicapai dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 baru terbatas pada reformasi norma, dan belum menyatuh pada reformasi roh,dan semangatnya.
c.    Aliran positivisme dalam hukum ditengarai telah merupakan salah satu penyebab dari tereliminasinya masyarakat hukum adat. Pada gilirannya hai itu telah menimbulkan kerugian besar bagi negara, sehubungan dengan lenyapnya faktor kendali sosial dalam menangani konflik, hancurnya hutan, kerusakan lingkungan dan pemiskinan sosial maupun ekonomis.
d.    Perlu diakui, bahwa di lura otoritas konstitusi juga ada otoritsa hukum lainnya, termasuk otoritas hukum adat, yang lebih berakar dalam masyarakat. Lebih dari itu, hukum tidak boleh dipahami secara ststis, tetapi  harus secara dinamis.
e.    Dalam hubungannya dengan konteks sejarah politik, adalah merupakan kenyataan bahwa masyarakat hukum adat telah ada lebih dahulu dari adanya negara. Berbeda dengan yang terbentuk secara artifisial, masyarakat hukum adat tumbuh karena memang perlu ada dan bersifat alami. Sedangkan menurut sejarahnya, negara lahir sebagai respon terhadap industrialisasi dan kapitalisme,serta menuntut hegemoni terhadap kekuasaan dan wilayah. Dalam konteks ini berkembang penafsiran yang tidak tepat bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat masih ada, jika diakui oleh negara.
f.     Tuntutan hegemoni negara tersebut tidak selalu diterima oleh masyarakat hukum adat, sehingga terdapat perimbangan dinamis, terkadang dikotomis, antara kekuatan masyarakat hukum adat dengan kekuasaan negara. Kalau kekuasaan masyarakat hukum adat melemah. Sebaliknya, kalau kekuasaan negara melemah, hukum adat dan masyarakat hukum adat akan menguat (stong state and weak society strong society and weak state).
g.    Empat persyaratan yurdis terhadap masyarakat hukum adat ditengarai, dengan memandang hukum Negara dan hukum adat sebagai dua system hukum yang distink. Hal ini sangat merugikan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Meskipun secara histories, mungkin oleh pertimbangan etis atau oleh perimbangan pragmatis pemerintah colonial Hindia Belanda justru mengakui masyarakat hukum adat tanpa mengajukan syarat-syarat apapun juga. Masyarakat hukum adat tersebut sebagai dorpsrepublieken (republic desa) yang selain mempunyai harti kekayaannya sendiri juga berwenang mengatur dan mengurus rumah tengganya sendiri.
h.    Hal penting yang harus diperhatikan dan didorong dalam melihat hubungan antara Negara dan masyarakat hukum adat adalah perinsip-perinsip yang  berkembang di lingkungan masyarakat hukum adat,yaitu: (1) masyarakat hukum adat adalah unsure pembentuk bangsa karena itu upaya perlindungan dan penghormatan bangsa karena harus diletakkan dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan bukan dalam rangka melakukan konservasi sosial; (2) masyarakat hukum adat tumbuh dan berkembang dari dirinya sendiri, karena itu penghormatan harus ditemapatkan dalam konteks otonomi komunitas masyarakat hukum adat yang beragam; (3) pengakuan / penghormatan hak-hak masyarakat hukum adat perlu didasari pada perinsip ketedakterpisahaan dari jumlah hak yang dapat dibedakan dan bersifat tidak dapat dicabut (inalienable rights), dan (4) hukum dalam wujud peraturan perundang-undang harusnya menjadi berbang terakhir yang disiapkan Negara untuk menjawab tuntutan keadilan dari masyarakat
i.      Republik Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman hayati (bio-diversity) dan keanekaragaman budaya (cultural-diversity) yang paling kompleks didunia, yang pengelolaannhya memerlukan kecangihan (sophisticacy) dari segala kalangan, terutama dari pemerintah, yang menurut Pasal 28 I ayat (4) Undang-undang Dasar 1945 memikul tanggung jawab perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
j.      Berbeda dengan lahirnya Negara nasional di Eropa Barat setelah perjanjian Westphalia 1648 yang dilatarbelakanagi oleh kesamaan kultur politik, lahirnya Negara Kesatua Republik Indonesia yang bangsanya bermasyarakat majemuk justru dilahirkan melalui ikrar, yang legitimasi sosialnya masi perlu diupayakan secara terus menerus. Dalam mengupayakan legitimasi sosial terhadap kehidupan bernegara selain diperlukan kearifan khusus juga harus dihindari pemaksaan agar seluruh masyarakat Indonesia bisa menerimanya dengan rasa bahagia. Pada dasarnya masalah ini bukanlah masalah hukum,tetapi masalah kemauan politik.
k.    Agar dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih konsisten dan dinamis, para pembentuk undang-undang serta para legal drafters yang membentuknya baik yang ada pada badan legislatif maupun pada badan eksekutif selain perlu memahami dengan baik semangat dan roh wawasan kenegaraan yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, juga perlu dipahami dinamika kehidupan masyarakat Indonesia, baik pada tataran kenegaraan di tingkat nasional, provinsi, tingkat kabupaten dan kota, tingkat kecamatan, maupun pada tataran masyarakat hukum adat. Untuk tujuan ini pada fakultas hukum selain perlu diwajibkan mata kuliah hukum adat yang kontekstual juga perlu diwajibkan mata kuliah antropologi budaya, antropologi hukum dan sosiologi hukum. Pada dasarnya bahwa kesalahan konseptual yang fatal terdapat pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini didasarkan semata-mata pada konsep desa teritorial seperti yang terdapt dipulau Jawa, dan tidak mengakui masyarakat hukum adat sebagai masyarakat hukum adat yang diperlakukan hanya sebagai unit pemerintahan yang terendah. Sebagai akibatnya, desa-desa teritorial genealogis, kumunitas nomadik dan atau masyarakat hukum adat yang terdapat di luar pulau Jawa dalam kurun sejarah yang panjang, telah tereliminasi, di Sulawesi Selatan, maslanya, hampir tidak terdapat lagi masyarakat hukum adat. Keruntuhan desa teritorial genelalogis dan atau masyarakat hukum adat di luar pulaw Jawa ini ditengarai dan memungkinkan tercetusnya kerusuhan sosial secara horizontal.  

















BAB III
SEJARAH, KEADAAN, PENYEBARAN DAN KEBERADAAN HUKUM ADAT DAYAK AGABAG DARI PERSFEKTIF MITOLOGIS DAN ANTROPOLOGIS
( HASIL KAJIAN ILMIAH DAN PENUTURAN TOKOH-TOKOH ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK AGABAG PADA ILAU DI DESA INTIN KEC. LUMBIS DAN  DESA KUNYIT KEC. SEBUKU )

            Berdasarkan data kependudukan tahun 2012 terlihat bahwa penduduk mayoritas di Kecamatan Lumbis, Lumbis Ogong, Kec. Tulin Onsoi Kecamatan Sembakung, Kecamatan Sembakung Atulai dan Kecamatan Sebuku Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur adalah masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag berdasarkan kepemilikan kartu tanda penduduk ( KTP ) dengan jumlah penduduk Kecamatan Lumbis 8.576 jiwa atau 80,45 % dari jumlah keseluruhan penduduk kec. Lumbis , Kecamatan Sembakung 4.087 jiwa atau 68,31% dari jumlah keseluruhan penduduk Kec. Sembakung dan Kecamatan Sebuku 8.158 jiwa atau 80,18% dari keseluruhan penduduk Kacamatan Sebuku Dayak Agabag, 90% dari jumlah penduduk Kecamatan Tulin Onsoi adalah Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag, 95% dari Jumlah Penduduk Kecamatan Lumbis Ogong adalah Dayak Agabag sisanya Okolod dan Tahol, 90% dari Jumlah penduduk Semabakung Atulai Adalah Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag. Selain itu kesatuan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag merupakan komunitas kesatuan Hukum adat asli di 6 kecamatan yaitu Kecamatan Lumbis, Kecamatan Lumbis Ogong, Kecamatan sembakung, Kecamatan Sebuku dan Kecamatan Tulin Onsoi dan Kecamatan Sembakung Atulai. sebelum penjajahan Balanda Dayak Agabag sudah mendiami daerah utara pulau Borneo secara terun temurun dan memiliki hutan Adat/Hak Ulayat yang di debut dengan “Tanah Nu Akion” dan merupakan komunitas Dayak yang terbesar di Kab. Nunukan selain itu terdapat juga penyebaran Dayak Agabag di Sungai Sadimulud (Samindurut ) di Kabupaten Malinau terutama di Desa Balayan yang dulunya di kenal dengan Luba-Salidung. Selain Suku Dayak Agabag terdapat juga Dayak Lainnya yang merupakan suku secara turun temurun berdampingan hidup dengan Dayak Agabag dan hampir relatif sama memiliki bahasa atau Linguistic sama bahkan adat istiadat yang hampir serupah dengan Dayak Agabag Seperti  Dayak Okolod/Tahol, Dayak Abai di Sunagai Sambuak, Bulusu di Kabupaten Tana Tidung dan Dayak Tidung selain itu terdapat juga suku-suku Indonesia lainnya seperti Jawa, Bugis, Timor, dan Dayak Lainnya seperti Lundaye, Kenya). Dari data di atas jumlah keseluruhan masayrakat Dayak Agabag 32.821 jiwa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dan tebel dibawah ini :
A. Gambaran Umum Daerah Penyebaran Dayak Agabag
a.  Letak dan Luas Kabupaten Daerah Penyebaran Dayak Agabag
            Daerah penyebaran Dayak Agabag terdapat di Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau Khususnya Desa Luba-Salidung (Desa Balayan) sunagi Sadimulud atau Samindurut. Kabupaten Nunukan merupakan salah satu daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Bulaungan yang wilayahnya berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia yaitu Sabah di sebelah Utara dan Serawak di sebelah barat. Kabupaten Nunukan yang merupakan hasil pemekaran dengan tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Nunukan, Kecamatan Sebatik, Kecamatan Sebatik Barat, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung, Kecamatan Sebuku, Kecamatan Krayan dan Kecamatan Krayan Selatan. Banyaknya desa di Kabupaten Nunukan menurut BPS Kab. Nunukan  ( 2012:7) ada 212 desa yang terdiri dari 2 atau 0,94 persen desa swadaya, 124 desa atau 58,49 persen desa swakarya dan 86 desa atau 40,57 persen desa swasembada. Kabupaten Nunukan memiliki luas 14.585.70 KM2 dengan batas-batas sebagai berikut :
      Sebelah Utara    : Nagara Malaysia Bagian Sabah
      Sebelah Timur    : Selat Makassar/Laut Sulawesi
      Sebelah Selatan            : Kabupaten Malinau dan Kabupaten Bulungan
      Sebelah Barat    : Negara Malaysia Bagian Sarawak
            Dalam penelitian ini tim peneliti memfokuskan penelitian pada Kecamatan Lumbis dan Kecamatan Lumbis Ogong dengan objek penelitian Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang merupakan penduduk asli dan mayoritas di 6 Kecamatan di wilayah daratan Kabupaten Nunukan yaitu Kecamatan Sembakung dan Kecamatan sebuku Kecamatan Lumbis, Kecamatan Lumbis Ogong , Kecamatan Tulin Onsoi dan Kecamatan Sembakung.
a.1. Kecamatan Lumbis Ogong
            Secara geografis Kecamatan Lumbis merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada dalam garis perbatasan antara  kabupaten Nunukan dengan Negara tetangga Malaysia, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a.    Sebelah Utara berbatasan dengan Sabah-Malaysia.
b.    Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Sebuku.
c.    Sebelah  Barat berbatasan dengan kecamatan Krayan.
d.    Sebelah Selatan berbatasan Kecamatan Lumbis
Dengan luas wilayah kecamatan Lumbis adalah 3.391.32 km, 

a.1. Kecamatan Lumbis( Induk )
            Secara geografis Kecamatan Lumbis merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada dalam garis perbatasan antara  kabupaten Nunukan dengan Negara tetangga Malaysia, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a.    Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lumbis Ogong.
b.    Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Sebuku.
c.    Sebelah  Barat berbatasan dengan kecamatan Malinau Utara.
d.    Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sembakung Atulai
e.     
Dan Secara Sosial Kultur penyebaran masyarakat dayak Agabag dapat di gamabarkan Sebagai berikut :
Sebelah Utara          : Dayak Okolod, Tahol dan Murut (di Sabah Malaysia)
Sebelah Timur          : Murut Sarudung dan Kalabakan (Agabag Sabah Malaysia)
Sebelah Barat          : Dayak Lundaye, Dayak Abai
Sebelah Selatan      : Dayak Tidung, Dayak Bulusu dan Dayak Kenya.

 

 
A. Topografi, Fisografi dan Kehutanan
a.1. Tofografi
            Tofografi pada Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan Sebuku yang merupakan tempat penyebaran masyarakat hukum adat Dayak Agabag sangat bervariasi berdasrkan bentuk relief, kemeringan lereng dan ketinggian dari permukaan laut. Perbukitan terjal terdapat di sebelah utara Kecamatan Lumbis dan Sebuku dan pada bagian tengah sedikit berbukit sedangkan pada bagian timur dan selatan merupakan dataran rendah yang landai. Relief dataran rendah dan banyak daerah sawahnya terdapat di Kecamatan Sembakung. Perbukitan terjal disebelah utara bagian barat pada tiga kecamatan ini merupakan wilayah pegunungan  memanjang yang berasal dari pegunungan tua Tiagang Sinsiliog di daratan Sabah-Malaysia tepatnya pada Bandar Nabawan dengan ketinggian rata-rata 1500-3000 meter diatas permukaan laut.perbukitan disebelah selatan bagian tengah berketinggian 500-1500 meter diatas permukaan laut yang berasal dari gugusan pegunungan Batu Mayo dan Maliat di sebelah Barat berasal dari gugusan pegunungan Sungai Sumalumung, Sabatu dan Batu Alang. tofografi perbukitan bersudut kemeringan lebih dari 450. Pada daerah dataran tinggi kemiringan berkisar antara 8-15 %. Pada daerah ini juga terdapat sungai-sungai besar, di kecamatan Lumbis terdapat sungai utama yaitu Sungai Sembakung yang berasal dari sungai Pansiangan Sabah-Malaysia dan Sungai Sadalid. Selain sungai utama ini terdapat juga sungai besar lainnya seperti sungai Sumalumung, Sungai Saludan, Sungai Samalad, Sungai Sumentobol. Sedangkan di daerah Sembakung sungai besar adalah sungai Sabuluan dan sungai Mambulu serta sungai Tujung dan Sungai Agison, Sungai Tulid  dan Sungai Tikung di Kecamatan Sebuku. Selain Pegunungan jinis tanah di daerah penyebaran Dayak Agabag Juga terdapat Lahan Gambut terutama di Kecamatan Sembakung dan Selatan Kecamatan Sebuku.



a.2. Fisiografi
            Wilayah Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan Sebuku yang merupakan tempat penyebaran masyarakat hukum adat Dayak Agabag sebagian besar didomisili oleh satuan fisiografi gunung ( mountain) dan dataran ( plain). Satuan fisografi gunung sebagian besar berada di bagian utara dan barat yang memanjang dari Sabah Malaysia hingga Selatan Kecamatan Sembakung
a.3. Kondisi Sumber Daya Kehutanan dan Pememfaatannya
            Wilayah adat ( hutan adat) Dayak Agabag yang berlokasi di  Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan Sebuku kondisi sumber daya hutannya masih potensial, masih banyak hutan rimba yang belum di garap perusahan khususnya sebelah barat Kecamatan Lumbis dan Sebuku. Beberapa jenis kayu komersial yang dominan dari beberapa kelompok hutan di tiga wilayah kecamatan ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok yaitu kelompok Dipterocapaceae, kelompok non Dipterocarpacea, kelompok kayu indah, kelompok rimba capuran dan kelompok kayu yang dilindungi. Untuk lebih jelasnya dapat  diilihat pada tabel berikut:
Tabel 4: Beberapa Jenis Kayu Hasil Hutan yang Dominan dan Mempunyai      Nilai Komersial
No
(!)
Nama Perdagangan
(2)
Suku/Famili
(3)
Nama Botani
(4)
I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Dipterocarpaceae
Kapur
Majau
Bengkirai
Merawan
Giam
Keruing
Meranti Batu
Meranti Merah
Meranti Kuning
Melapi
Mersawa
Tengkawang

Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae
Diptercarpaceae


Dryobalanops Becarii Dyer
Shorea Seminis SI
Shorea Laevis
Hopea Sanga Korth
Cotylelobium spp
Dipterocarpus Kutaianus V.SI
 Shoera Sp
Shorea Leprosula Miq
Shorea Sp
Shorea lamellate Foxw
Hopea Spp
Sheora Pinanga Scheff
II
1
2
3
4
5
6
Non Dipterocarpaceae
Agathis
Durian
Jelutung
Merpayung
Kulim
Membacang

Araucariceae
Bombacaceae
Apocynaceae
Sterculiaceae
Olacaceae
Anacardiaceae

Agathis Becarii Warb
Durio Zibethinus Sp
Dyera Costulata
Scaphium Macropodum J.B
Ccrodocarpus borneensis Becc
Mangifera Foetida Lour

Sumber: - Jenis-jenis Pohon disusun berdasarkan Nama Daerah dan Botani,             Propinsi  Kalimantan Timur, 1983.
               * Data Diolah 2012
            selain itu hasil hutan non kayu adalah produk hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dalam hal ini masyarkat Dayak Agabag baik untuk kepentingan sehari-hari maupun untuk diperdangangkan. Hasil hutan non kayu lainnya adalah sarang burung walet yang terdapat di gua-gua terutama di daerah Kecamatan Sebuku, jenis hutan non kayu ini sangat penting untuk keperluan masyarakat karena dapat menjadi sumber uang tunai (cash) bagi mereka.
B. Sejarah Dayak Agabag
b.1. Sejarah Dayak Agabag  Persfektif Sosio Mitologis
            Pada zaman dahulu ( Prasejarah ) sebelum segala sesuatu yang ada menjadi ada menurut mitologi yang hidup, berkembang dan diyakini oleh masyarakat Dayak Agabag dari zaman dahulu sampai pada saat ini adalah bersumber dari Tujuh Bersaudara yang di sebut sebagai Tulu Aga~aka. Tulu Aga~aka sudah ada sebelum yang lain di dunia ini ada dan sebelum permulaan dunia ini.
Dalam Mitologi Dayak Agabag mereka di yakini  sebagai zat yang pernah ada untuk membentuk semua yang ada di dunia ini ( Namisi da Tanah ). Dari Tulu Aga~aka ini tiga di antaranya diketahui namanya yaitu Yaki Kaligot, Apaling dan Alomod (kisah Tulu Aga~aka akan ditulis dalam buku tersendiri). Setelah mereka mengadakan semuanya di dunia ini  mereka membuat kesepakatan untuk meninggalkan daerah Agabag untuk mengembara tetapi dari mereka bertujuh Yaki kaligot memilih bertahan untuk tinggal di daerah Dayak Agabag. Yaki kaligot memiliki ukuran tubuh yang tinggi di perkirakan sekitar 20 meter dan hidup di daerah pegunungan hulu sungai  yang Sekarang dikenal sungai Sumalumung
Setelah sekian lama hidup menyendiri Yaki kaligot berpikir untuk memerlukan seorang pendamping hidup, dalam suatu perjalanan untuk mencari hewan buruan di hutan Yaki Kaligot bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki tubuh besar juga yang bernama Yadu Kulimbong/Yadu Boton mereka pun hidup bersama dimana daerah Dayak Agabag Belum ada satupun manusia pada zaman itu. Begitu lama mereka hidup bersama akhirnya Yadu Kulimbong/Yadu Boton melahirkan anak laki-laki yang di beri nama Pangimong dan anak kedua mereka seorang perempuan yang diberi nama Dalaaiti
Beberapa waktu kemudian Yaki Kaligot pun meninggal ( Kuburan Sekarang masih ada di daerah Sungai Sumalumung ) tak berselang lama Yadu Kulimbong pun juga meninggal. Akhirnya tinggal kedua anak mereka yang hidup yang tidak tahu bagaimana mencari makan.
Setelah sekian lama mereka hidup menggantungkan diri pada alam Yaki Pangimong mendapat mimpi dimana dalam mimpinya Yaki Pangimong di suruh membuka lahan untuk di jadikan ladang. Setelah dikerjakan oleh Yaki Pangimong sesuai dengan petunjuk mimpinya ladang pun selesai dia kerjakan, tetapi Yaki Pangimong mendapat masalah baru yaitu tanaman apa yang hendak dia tanam diladangnya. Karena kelelahan Yaki Pangimong pun tertidur, sekali lagi Yaki Pangimong mendapat petunjuk melalui mimpi yang sulit dia lakukan. Dalam mimpinya diperlihatkan bahwa untuk mendapat bibit tanaman yang hendak dia tanam di ladangnya dia harus membunuh adik, satu-satunya yang dia cintai. Setelah Yaki Pangimong bangun dari tidurnya Yaki Pangimong sulit untuk melakukan apa yang ada dalam mimpinya.
Hati Yaki Pangimong menjadi gundah dan setelah mempertimbang sekian lama, ladang yang dikerjakannya pun sudah mulai tumbuh ilalang dan rumput. Melihat hal itu, Yaki Pangimong pun memanggil adiknya dan menyuruh dia berbalik. Yaki Pangimong beralasan untuk mencari kutu rambut adiknya yang dia sayangi. Adiknya pun mau dan mulailah Yaki Pangimong mencari kutu rambut adiknya. Yaki Pangimong sangat sedih, sambil mencari kutu rambut dia meneteskan air mata dan jatuh di bahu adiknya, Dalaaiti. Adiknya bertanya: Kenapa kakak menangis kalau memang ada sesuatu, kakak terus terang saja      ( kulo okou aka pantangi sino pokon nasusan nu pinyawomu nu guang daguon mu am baleen mu yak dakon ). Kata adiknya Yaki Pangimong pun menjawab, tidak ada.
Sesudah mereka berdialog, beberapa saat kemudian mereka diam dan tiba-tiba bumi dan segala isinya menjadi hening dan seakan-akan tidak bergerak. Yaki Pangimong pun perlahan-lahan menghunuskan sebilah pisau ( Pes ) dari punggungnya dan menusuk tulang belikat adiknya. Setelah Yaki Pangimong menusuk adiknya, dia membawa adiknya berlari di tengah ladangnya sesuai dengan mimpinya. Darah Dalaaiti pun tercecer di tengah ladang, selang beberapa waktu ternyata darah Dalaaiti Tumbuh menjadi padi, kepalanya jadi labu ruas-ruas jarinya menjadi batang ubi dan singkatnya seluruh anggota tubuh Dalaaiti menjadi tanaman yang ada seperti sekarang ini.
Setelah semuanya itu terjadi Yaki Pangimong pun menyesali perbuatannya dan mulai rindu dengan adiknya, hari-harinya dia lalui dengan penyesalan dan tangis. Suatu ketika dimana padi di ladang Yaki Pangimong sudah mulai berbuah Yaki Pangimong pun tertidur dan dalam tidurnya ia bermimpi dimana dia di tanya: apakah kamu rindu dengan adik kamu? ( asagit koki di yali mu ). Yaki pangimong menjawab ya. Kemudian dia diperintahkan: kalau kamu mau adik mu kembali kamu cari di antara padi diladangmu yang paling subur dan itu kamu ikat dengan kulit kayu ( Kulit nu Putuul). Setelah Yaki pangimong melakukan semunya itu Dalaaiti Pun Berdiri di Hadapannya. Kakak beradik ini pun hidup bersama kembali lagi.
Selang beberapa waktu mereka hidup bersama, perlahan-lahan mulai tumbuh rasa saling membutuhkan diantara mereka berdua. Suatu ketika Yaki Pangimong mengajak adiknya Dalaaiti untuk jalan-jalan ke hutan mencari buah-buahan karena pada saat itu musim buah. Mereka berjalan dan menulusuri dataran rendah, tiba-tiba mereka berdua melihat secara bersamaan dua ekor tupai sedang melakukan hubungan ( Ampaa ).
Melihat hal itu kedua adik kakak itu mempraktikkan apa yang mereka lihat. Dengan melakukan hubungan intim tersebut semua tanaman yang mereka tanam menjadi mati karena habis di serang hama. Mulai saat itu muncullah istilah Asumbang (Sumbang). Perilaku ini merupakan pelanggaran dan aib untuk orang Agabag. Untuk menebus hal itu mereka berdua harus berpisah. Yaki Pangimong harus berlari ke arah terbitnya matahari dan kemudian di susul adiknya. Setelah Yaki Pangimong lari semua pohon yang dia lewati mati, melihat hal itu adiknya pun menyusul lari kearah kakaknya. Dengan berlari kencang badan dan kaki Dalaaiti luka-luka dan lecet-lecet karena kena batu dan duri. Ternyata pohon yang dilewatinya yang semula mati, hidup kembali karena kena percikan darah Dalaaiti ( Sekarang Yang Dikenal Dawak). Suatu upacara yang dilakukan untuk mendamaikan dan darah binatang yang dikorban menjadi simbol kehidupan kembali. Setelah Dalaaiti dapat mengejar Yaki Pangimong mereka kembali berkumpul.
            Sejalan dengan berputarnya waktu Dalaaiti pun mengandung dan  kemudian Melahirkan Yaki SADOL. Yaki Sadol merupakan anak Yaki Pangimong dengan Dalaaiti. Yaki Sadol dalam hidupnya memiliki kelebihan (orang sakti). Menurut keyakinan yang turun temurun dipercayai oleh orang Agabag terdapat bekas kaki Yaki Sadol dimana sekarang dapat yang kita temui diatas batu-batu di wilayah Sungai Long Bulu. Batu dan bekas kaki Yaki Sadol masih ada sampai saat ini.
Yaki Sadol memiliki istri bernama Yadu Polod, Yadu Polod berasal dari tumbuhan Polod sendiri. Dalam sejarah Dayak Agabag, mulai pada zaman ini manusia menggunakan api pertama kali. Yadu Polod memiliki anjing yang setia, dalam kesahariannya Yadu Polod menulusuri sungai dan pegunungan untuk mencari makanan. Suatu ketika anjingnya ikut dengan Yadu Polod. Dalam perjalanan tiba-tiba anjingnya menggonggong daun. Yadu Polod pun melihat dan menghampiri apa yang digonggong anjingnya. Yang digonggong anjingnya adalah daun ( Dayak Agabag memberi nama pada daun itu, Daun Apa, daun apa digunakan untuk penyedap rasa).
 Setelah itu Yadu Polod melanjutkan perjalanannya, tidak jauh dari tempat semula dia mendapatkan Daun Apa. Anjingnya menggonggong lagi dan Yadu Polod pun berkata dalam hati apa lagi yang digonggong anjingnya?. Yadu Polod mendatangi dan ternyata yang digonggong anjingnya adalah sebatang pohon. Sambil menggonggong anjingnya mengibaskan kakinya di pohon itu, dimana terdapat lumut yang mirip dengan kapas. Yadu Polod pun mengikisnya dari pohon itu ( Dayak Agabag Menyebutnya Todok ). Yadu Polod kemudian mengambil Todok, selesai mengambil Todok ia pun melanjutkan perjalanan.
 Tidak lama berselang anjingnya menggongong Bambu (Dayak Agabag Menyebut Tiikan), Yadu Polod mengambilnya juga. Dalam perjalanan pulang anjing Yadu Polod menggongong lagi kali ini yang digonggong anjingnya adalah batu putih, Yadu Polod pun memungut batu itu. Setelah sampai di rumah Yadu polod bertanya dalam hatinya apa arti dan apa kegunaan dari semuanya ini?
Dalam tidurnya, Yadu Polod bermimpi bahwa itu adalah bahan untuk menyalakan api dan Daun Apa sebagai penyedap rasa ( masih digunakan samapi sekarang). Setelah bangun dari tidurnya Yadu Polod mempraktikkan petunjuk mimpinya ternyata terbukti dan pada saat itu mulailah masyarakat adat Dayak Agabag mengenal adanya api. Tak lama kemudian Yadu Polod bertemu dengan Yaki Sadol dan Yaki Sadol pun mengambil Yadu Polod sebagai istrinya.
            Setelah sekian lama Yaki Sadol hidup bersama dengan Yadu Polod mereka pun memiliki beberapa anak salah satunya bernama Yadu Bongon. Yadu Bongon  hidup bersama Yaki Sadol dan Yadu Polod, berbeda dengan keluarganya yang lain. Setelah kedua orang tuanya meninggal hiduplah Yadu Bongon sebatang kara tak tahu dimana sanak saudaranya yang lain.
Dalam mempertahankan hidupnya Yadu Bongon selalu mencari udang di sungai kecil. Suatu ketika Yadu Bongon mendapat udang sungai yang lebih besar dari biasanya Gampasan. Yadu Bongon pun memeliharanya, lama kelamaan tempat Yadu Bongon memelihara Gampasan tersebut tidak muat lagi, maka Yadu Bongon pun melepaskan Gampasan tersebut ke sungai dan setiap hari di beri makan. Suatu saat Gampasan itu bertarung dengan buaya kedua-duanya mengalami luka yang serius dimana buaya kalah dan lari sementara Gampasan naik di pinggir sungai dan mati. Setelah Yadu Bongon mengetahui hal itu, dia sangat sedih, setiap hari Yadu Bongon menangis.
Pada suatu saat Yadu Bongon bermimpi dimana dia harus mengumpulkan tulang Gampasan tersebut dan memasukkannya ke dalam tempayan ( Sampah Ogong ). Tempayan itu diletakkan diatas kayu bakar yang berasal dari dahan pohon rambutan lalu di bakar. Setelah bangun dari tidurnya Yadu Bongon pun melaksanakan apa yang terdapat dalam mimpinya. Pada saat tengah membakar Tempayan tempat tulang Gampasan dimasukkan Tempayan itu pecah dan pada saat yang bersamaan berdirilah seorang laki-laki yang muda, kekar dan Yadu Bongon memberi nama laki-laki itu Manigan. Setelah hidup bersama sekian lama mereka memiliki banyak anak, Yaki Manigan dan Yadu Bongon memiliki umur panjang. Pada zaman kejayaan Yaki Manigan banyak tantangan yang dihadapinya, mulai dari pemusnahan Tanyiow ( Mahluk Raksasa Pemakan Manusia ), Piak ( Sejenis Naga ), Kanji/Kanyei dan Kudong ( Penyebar Penyakit Kusta ). Sejak Zaman kudong ini, anak cucunya Yaki Manigan terpencar ke pegunungan dan hulu-hulu sungai karena masing-masing mau menyelamatkan diri. Mulai pada zaman ini terjadi penyebaran Masyarakat Adat Dayak Agabag di daerah pegunungan dimana pada masa itu  cara mempertahankan hidup dengan berpindah-pindah dari satu pegunungan ke pegungunan lain, dari sungai yang satu ke sungai lain dan dari dataran satu ke dataran lainnya.
 Setelah terpisah dalam waktu yang lama Dayak Agabag terjebak pada Fase Mengayau ( Agaayou ), pada masa ini hiduplah beberapa orang pemberani   ( Ulun Masioog ) diantaranya mulai dari Yaki Bumbulis, Yaki Sukat Balungkung, Kalamuku Nansyak, Yaki Pangkayungon, Yaki Linggit, Yaki Lumbis, dan banyak lagi Ulun Masiaoog lainnya yang tersebar di seluruh sungai yang ada di Kec. Lumbis, Sembakung dan Sebuku ( Sekarang ini ) dan Sungai Sadimulut, bahkan sampai di Linuang Kayam, Tanah Lia dan Liu Gau.
Pada masa ini ( Agayou ) orang pemberanilah ( Ulun Masioog ) yang menegakkan Hukum Adat, dimana Ulun Masioog disegani oleh masyarakat yang lain. Untuk menyandang gelar Ulun Masioog pada masa itu tidak semuda kita bayangkan. Hal itu di ukur dari banyaknya kepala manusia yang di penggal, apabila terdapat sesorang yang paling banyak dapat kepala dialah menjadi penguasa dan menegakkan Hukum Adat pada komunitasnya.
 
b.2. Sejarah Eksistensi Dayak Agabag dari Pendekatan Antropologis
Sebelum masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag mengenal peradapan tulisan suku lain dan bagsa lain sudah lebih maju duluan sehingga secara tulisan keterangan tentang Agabag kuno dapat di baca pada tulisan Carl Bock : The Head Hunter Of Borneo 1882 yang selanjutnya Di telusuri oleh G.N Appell, Ph.D dari Brandeis University,USA. ( See..Ethnic Group In The Northeast Of Indonesian Borneo and The Sosial Organization, 1942, 1980 publication ) tentang pengakuan masyarakat Sungai Sebuku dan Tulid (lihat: Appell 1968 ), Selain itu keterangan tentang Peradaban Dayak Agabag pada jaman Kesultanan Bulungan yang terdapat pada Sebuku Document 1915-1918 tentang penangkatan Pangeran Bangkangan ( Pangeran Tua ) ”Kemudian Berdiri Seorang yang Tua/dituakan serta berkata-kata mengucapkan tita ditengah majilis orang Banyak Ketahui sekalian kamu Orang Gabag Di Sungai Tikung dan Orangnya Sungai Tulid dengar kamu telah diangkat Raja  dengan gelar pangeran Tua ( Sebokoe Document 1915, P1-P15), selain itu dalam riwayat Sebokoe Document terdapat cerita perselisihan antara pangeran Djemaloen dengan pangeran Besar dari Sungai sembakung berhubungan dengan Goa Sarang Burung Batu Mayo dimana Pangeran Besar Gabag Sungai Sembakung mempemasalahkan Pangeran Djemaloen memungut Sarang Burung Batu mayo sehingga Sultan Bulungan (Sultan Alimudin) menyelesaikannya                       ( lihat : Peta Perjanjian Belanda-Inggris 1915 dan Document Of Sebokoe 1915-1918).
Sebelum ada masuk pemerintahan kerajaan Bulungan Dayak Agabag terjebak kepada perang suku yang di sebut angayou atau antabug.
Zaman Mengayau ini berlangsung dalam waktu yang lama dimana pada masa itu hidup orang-orang pemberani yang memiliki kelibihan seperti Yaki Linggit, Yaki Lumbis, Yaki Pangkayungon, Yaki Kalambuku Ansak, Yaki Yangkawot, Yaki Balanay, dan lainnya hingaga pada zaman penjajahan Belanda. Pada zaman Belanda menjajah hidup beberapa orang pemberani ( Ulun Masioog ) seperti Pangeran Taali, Pangeran Luayang. Pada masa ini sempat terjadi gejolak dimana Pangeran Taali sempat membunuh serdadu Belanda di Mansalong sekarang ini dan membagi-bagikan kepada beberapa kampung yang lain untuk dijadikan santapan. Dan akibat perbuatannya itu Pangeran Taali di Tangkap. Pada akhir kekuasan kolonial Belanda masyarakat Dayak Agabag di bawah pemerintahan Kesultanan Bulungan. Cara yang digunakan Sultan Bulungan untuk menguasai Dayak Agabag dengan mengangkat Pangeran Taali dan Pangeran Luayang serta pangeran Batulis-Batumpuk menjadi Pangeran di Kesultanan Bulungan, sehingga dengan masuknya tokoh- tokoh ini ke lingkungan Kesultanan Bulungan maka Dayak Agabag pun di bawah kekuasaan Kesultanan Bulungan, hal ini berlangsung hingga tahun 1947-an.
Setelah Kesultanan Bulungan dileburkan secara paksa  ke Negara Kesatuan Indonesia maka Dayak Agabag pun secara otomatis tergabung didalamnya. Pada dekade 1940-1950 terjadi penelitian dilakukan oleh beberapa peneliti dari luar yang pada saat penelitian tidak langsung masuk dan berkomunikasi secara mendalam dengan masyarakat hukum adat dayak agabag karena pada saat-saat itu sulit melakukan komunikasi pada masyarakat Dayak Agabag karena suku ini masih tinggal di hutan dan hulu sungai dan tidak mudah menujuh lokasi tersebut selain itu masyarkat hukum adat Dayak Agabag pada saat itu sangat sulit mencari salah satu anggota masyarakatnya yang bisa berbahasa indonesia sehingga suku yang tersebar di Linuang Sembakung- Sebuku dan Lumbis ( Dokumen; Kesultanan Bulungan-Tanjung Palas ) Dayak Agabag diberi nama dan terkenal dengan sebutan oleh masyarakat pesisir dan  para pendatang pada masa itu  Dayak Tenggalan/Tengalan yang tidak memiliki makna dalam bahasa Dayak Agabag dan bahkan tidak memiliki artinya secara harafia serta tidak terdapat dalam kosa kata bahasa sehari-hari dalam bahasa Dayak Agabag . Dalam perjalanan waktu kata Agabag yang berasal dari Abag   ( Cawat ) yang belakangan ini makna dan pengertiannya di generalisasi dan dianggap oleh beberapa kalangan bahwa Agabag sama pengertiannya atau selevel  dengan Dayak secara umum karena di artikan secara sepotong padahal pendapat ini salah total karena Agabag merupakan salah satu sub suku Dayak dan Dayak adalah sutu kata untuk menunjukkan suku asli Kalimantan, selain dari pada itu secara logika kosa kata Agabag sudah jauh lebih dulu dipakai oleh masayrakat yang ada di Lumbis, Sembakung dan sebuku untuk menujukkan identitas mereka pada zaman dulu sebelum masa penjajahan seperti pada zaman mengayau, mendayung ( Kumalid ) ketimbang kosa kata Dayak sendiri kata “Dayak” sebenarnya berasal dari kata ”Daya” lalu untuk menunjukkan suatu suku asli Pulau Borneo maka di tambah huruf ”K”. Kata Dayak Sendiri di kenal masyarakat Dayak Agabag sejak ada bahasa indonesia lewat Pasudol 1948 dan TNI pada masa konfrontasi tahun 1965  ( mengenal bahasa indonesia ) kalau kita kaji secara mendalam banyak argumentasi berkenaan dengan permasalahan ini yang di maknai secara bahasa indonesia dan tidak didasari pada akar budaya dan adat istiadat berkenaan dengan keberadaan suatu komunitas suku oleh orang-orang yang pemehamannya terhadap Dayak Agabag setengah-setengah yang notabene tidak memiliki rasa AGABAGISE ( cinta terhadap Dayak Agabag ) dan terbuai dan terbujuk oleh pihak-pihak yang tidak mau terjadi persatuan di masyarakat Dayak Khususnya Dayak Agabag mungkin akan menjadi suatu ancaman bagi mereka. Kalau kita kaji lebih mendalam Kata Dayak sendiri berasal dari kata Daya oleh ahli-ahli bahasa di tambah huruf “K” untuk menunjukkan suatu suku asli di kalimantan dan bersub-sub Proses generalisai ini karena dengan masuknya bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Para orang tua dulu sulit mengerti apa itu Dayak. Dari ketidak-pahaman itu maka salah satu penjelasan yang masuk akal adalah dengan membandingkan corak hidup sehari hari tentang kehidupan Dayak sehingga dianggaplah Agabag juga memiliki corak hidup yang sama maka muncul anggapan bahwa Agabag kalau di  bahasa Indonesiakan adalah Dayak dari hal di atas jelas sudah terjadi penyaman makna dan generalisasi terhadap kata DAYAK dangan AGABAG  padahal Agabag adalah bagian dari sub suku Dayak itu sendiri.
            Berdasarkan hal diatas maka muncul kata baru yang menurut masyarakat adat Dayak Agabag tidak memiliki makna yang mengikat dan kata tersebut tidak terdapat dalam bahasa Dayak Agabag, kata itu adalah Tenggalan/Tengalan yang tidak jelas sumbernya, berbagai argumentasi yang melandasi kata itu untuk disandangkan kepada nama salah satu sub suku Dayak di Kalimantan Timur       ( Dayak Agabag). Argumentasi yang muncul beragam diantaranya kata Tenggalan/Tengalan itu di berikan kepada nama suku ini karena suku ini tinggal di daerah pertengahan dari suku yang lain, padahal kalau kita perhatikan pada peta kaltim suku ini mendiami atau penyebarannya berada di paling utara kalimantan timur selain itu terdapat juga makna konotatif yang mengatakan karena suku ini ketinggalan dalam berbagai sektor. Dari hal itu maka eksistensi Dayak Agabag pun semakin tenggelam dan pemaknaan terhadap tenggalan pun bermacam-macam sehingga banyak hal yang sifatnya urgen dalam suku ini tenggelam lebih tepatnya ditenggelamkan dan tidak menentu. Untuk diketahui kata Tenggalan/Tengalan muncul pada tahun 70an dimana pada masa itu pemerintah melakukan inventarisasi terhadap suku-suku di indonesia secara menyeluru tak terkecuali Kalimantan Timur pada saat itu masyarakat Dayak Agabag masih terisolir dan tidak ada yang masuk dalam tataran pemerintahan sehingga penaman diberikan oleh mereka yang tidak memahami dan mengetahui nama suku Dayak Agabag (Sumber : Proyek Pormacs-Care Internasional Kanada -  For Indonesia )
            Setelah beberapa orang dari generasi Dayak Agabag melakukan pengkajian secara mendalam, Intelkual Dayak Agabag dan para tokoh masyarakat) terhadap suku yang disebut Tenggalan/ Tengalan dan ternyata nama ini muncul pada dekade 1970-an dan tidak memiliki ikatan fisikologis, sosial dan kultural terhadap objeknya. Untuk menggali kembali sejarah ini yang sempat hilang ini maka digelarlah acara adat yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan Tokoh-Tokoh adat Dayak Agabag yang di sebut dengan ILAU dimana Ilau ini dulunya adalah suatu acara adat yang sangat besar tetapi sempat tidak dilakukan karena ketidak jelasan identitas suku sehingga rasa memiliki untuk melestarikan budaya pun menurun.  Dalam Ilau tersebut tergalilah keberadaan suku Dayak Agabag secara mendalam.
Tebel 1. Periodinisasi Alur Sejarah Dayak Agabag
Waktu
(1)
Peristiwa/Sejarah
(2)

Zaman Kudong
( Penyakit Kusta )
·         Terjadi penyebaran penduduk Dayak Agabag karena takut dengan penyskit Kudong. Semula mereka hidup berkelompok-kelompok di daerah sungan Sumalumung, Saludan, Sumentobol, Agison dan Tulid
·         Dari Kehidupan Berkelompok-kelompok mereka menyebar keseluruh daerah selatan dan disana mereka membentuk kelompok baru dari generasi mereka sehingga terbagi dua kelompok beser yaitu yang menepati di pinggiran sungai sembakung dan sungai Tikung-Tulid.

Zaman Mengayau
( Perang antar Suku )
·         Terjadi perang suku antar Dayak Agabag Dengan Murut Sumatalun ( Yangawot ), Suku Sigai dari Wilayah Bulungan, Suku Punan.
·         Jumlah Penduduk pada masing-masing kelompok sangat kecil
·         Pakaian untuk menutup tubuh hanya dengan Cawat ( Kulit Kayu )
·         Laki-laki berambut panjang dan berponi
·         Rumah masih memanjang
·         Mecari keperluan sehari-hari dengan meramu hasil hutan

Zaman Belanda
·         Masyarakat Dayak Agabag masyarakat pada saat itu sembunyi di hutan Masyarakat tidak berkebun karena dilarang
·         Pangeran Tali,Pangeran Luayang dan Pangeran Batulis diangkat oleh Sultan Bulungan menjadi Pangeran
·         Pangeran Tali melakukan perlawanan terhadap belanda
·         Masyarakat Dayak Agabag pada masa ini masih memiliki sifat vridator                       ( makan daging Manusia) karena setiap mereka membunuh belanda pasti mereka bagi-bagi yang mereka sebut ”Punyng”



 (1)
(2)
Masa Penjajahan Jepang
·         Masyarkat mulai kembali ke tepi sungai
·         Masyarakat Dayak Agabag menjadi budak oleh jepang
·         Dayak Agabag melakukan perlawanan terhadap Jepang oleh dengan cara gereliya                ( Daerah Sumalumung, Sumentobol dan Labang)
·         Masyarakat Dayak Agabag diburu oleh Jepang sehingga mereka lari lagi kehulu-hulu sungai
Masa Kemerdekaan
·         Masyarakat Dayak Agabag mulai berkelompok dan membangun rumah panjang di pinggir sungai
·         Masyarakat mulai tau teknik berniaga dengan cara barter
·         Hasil hutan yang mereka jual adalah Damar, Tengkawang, Minyak Kapur dan Rotan untuk ditukarkan dengan garam dan gula
·         Penguasa kampung adalah Ketua adat

Tahun 1950-1965
·         Masyarakat kembali mengungsi kehulu-hulu sungai karena terjadi konfrontasi dengan Malaysia
·         Masyarakat Dayak Agabag banyak yang direkrut menjadi relawan (veteran) untuk mengangkut bahan makanan tentara indonesia pada saat konfrontasi
·         Terjadi penyerangan tentara malaysia di daerah Labang, Sumintobol dan Agison banyak masyarakat Dayak Agabag yang korban
Tahun 1965-2009
·         Terjadi Banjir Besar tepatnya pada tahun 1981
·         Pemerintah daerah kabupaten Bulungan mengadakan regruping terhadap masyarakat yang tersebar tidak teratur dalam kelompok-kelompok desa.
·         Mengadakan relokasi besar-besaran bagi desa-desa terkena banjir ( dilokasikan)

(1)
(2)

·            Kabupaten Bulungan dimekarkan sehingga terbentuk Kabupaten Nunukan dan Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan Sebuku masuk wilayah Kabupaten Nunukan
·            Pemerintah Kabupaten Nunukan mengeluarkan Peraturan daerah tentang kreteria Hak Ulayat
·            Intelektual Dayak Agabag sudah mulai terpolarisari
·            Mulai genarasi Dayak Agbag Kuliah
·            Pengkajian terhadap Dayak Agabag
·            Ilau dilaksanakan




Sumber: Data Primer, diolah 2007

b.3. Mata Pencaharian dan Pendapatan Masyarakat Dayak Agabag
            Mata pencaharian Dayak Agabag pada umumnya bertani terutama daerah kawasan sekitar daerah aliran sungai karena kawasan tersebut sangat subur. Selain usaha tani masyarkat juga melakukan usaha ikan dan menanam tenaman sayur-sayuran serta mereka juga memungut hasil hutan.
            Aktivitas masyarakat dalam pengelolahan lahan dapat dikelompokkan kedalam pengelolahan lahan secara individu dan secara bersama-sama. Pada umumnya penguasaan lahan yang dikelola secara individu berkisar 0,5-2 ha sedangkan lahan yang dikelola bersama-sama dapat mencapai ribuan hektar. Adapun pola kerja masyarakat Dayak Agabag adalah sebagai berikut :
  • Hanya memili lahan yang subur di pinggiran sungai dan hanya untuk pengembangan usaha tani.
  • Memungut hasil hutan dan memburu hewan yang dianggap sebagai hama tanaman
  • Menggunakan peralatan yang manual sederhana yang sesuai dengan kondisi lingkungan.
  • Melakukan kondisi rotasi tanaman dan lahan untuk memelihara kesuburan lahan sesuai dengan aturan adat.
  • Menghormati dan norma-norma adat  sesuai dengan adat istiadat tentang penggunaan lahan.
  • Bergotong royong untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja.
·         Saling menjaga untuk mengetasi kekurangan sehari-hari.
            Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencahrian masyarkat Dayak Agabag dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Ragam Aktivitas Usaha Perekonomian Masyrakat Dayak Agabag
No
(1)
Usaha
(2)
Komoditi Usaha
(3)
Sifat Usaha
(4)
1
Pertanian
Ubi Kayu, Pisang, Kopi, dan Kakau
Subsitem
2
Perikanan
Jelawat, Gedawang dan Selaung
Subsitem
3
Meramu
Madu, Durian, Cempedak, Gaharu, menebang kayu hutan
Komersil

4
Peternakan
Aayam Kampung dan bebek
Subsistem
5
Berburu
Rusa dan Aneka Burung
Subsistem
Sumber : Proyek Pormacs-Care Internasional Kanad- Indonesia(2004)

Tabel 3: Sistem  Pengelolahan dan Alokasi Pememfaatan Lahan Dayak Agabag

Uraian
(1)
Individual
(2)
Bersama
(3)
Bentuk Lahan
Permukiman, Kebun dan ladang
Gua Walet, sungai dan Hutan/Ulayat
Sistem Pemanfaatan
Individu dan Rumah tangga
Masyarakay Adat/Ulayat
Sumber Penguasaan
Membuka Hutan dan Pewarisan
Tanah Ulayat
Luas Penguasaan
0,5 – 1,5 Ha/KK
Puluhan-Ribuan Hektar
Batas Penguasaan
Tanaman Kehidupan
Batas alam (Sungai, Bukit dan Gunung )
Sumber: Proyek Pormacs-Care Internasional Kanada- Indonesia(2004)
                Data Primer diolah 2008

Tabel 4: Bentuk-Bentuk Proses Sosial Dalam Masyarakat Dayak Agabag
No
(1)
Proses Sosial
(2)
Keterangan
(3)
1
Asosiasi
Gotong Royong memperbaiki sarana umum
2
Kerjasama
Secara berkelompok melakukan aktivitas pemungutan hasil hutan
3
Akomodasi
Mengakui dan menghormati batas-batas desa sesuai dengan ketentuan adat istiadat baik secara individu maupun kelompok
4
Disosiatif
Persaingan dalam pemungutan hasil utan ( Gaharu, Sarang walet)
5
Persaingan
Persaingan patron mencari pengaru dan dukungan terhadap anggota
6
Pertantangan
Dalam penentuan batas desa sesuai dengan asal usul desa dan adat istiadat karena masing masing desa memiliki versi yang berbeda dalam hal batas desa
Sumber: Proyek Pormacs-Care Internasional Kanada- Indonesia(2004)
              Data Primer diolah 2008

C. Hukum, Pembagian Wialayah dan Struktur Lembaga Adat Dayak     Agabag
c.1. Hukum Adat
            Dalam kehiduapan sosial sehari-hari masyarakat Dayak Agabag dibatasi oleh hukum yaitu hukum adat. Hukum adat memegang peranan penting bagi kehidupuan masyarakat Dayak Agabag karena hukum adat dayak Agabag mengatur segala hal yang berhubungan tata keharmonisan kehidupan bersama. Hukum adat Dayak Agabag sudah berlangsung dari nenek moyang masyarakat Dayak Agabag dan di teati oleh masyarakat Dayak Agabag samapi sekarang. Pelestarian hukum adat dari awal samapi sekarang dengan cara meningat setiap permasalahan yang diselesaikan dan apabila hal tersebut terjadi lagi baik kepada orang yang sama atau pada orang lain putusan atau denda yang pernah dijatuhkan kepada orang yang terdahulu akan diambil acuan untuk mejatuhkan denda, hal ini juga tergantung dengan wilayah ketua adat atau ketua adat besar yang memutuskan. Hal ini terungkap dengan wawancara penilis dengan ketua Adat Besar Lumbis Hilir Pangeran Pantalon seperti di bawa ini:
Akay ulun Agabag sinono ukum may intad da matuo dali tiap nu ulusan lo am asil nu putusan lo apanayan nu ulun suang jadi pas sino kejadian po am ukumon ilain masala no atuki agat atau alangka misal no sino kesalahan nu dono ulun antakou da buah nu ulun bokon dan napanayan ulun gino ukumon dengan ANTAK da Ulun Kayampu/katangan da buah da manuk Apulak. Jadi sino po permasalahn gino terjadi baik yo da ulun yang anggilad atau ulun bokon putusan gino akan pakaion sobob putusan pagulu ili berhasil menyelesai da masalah jadi maka no putusan TAK gino tiluin may daino tumaka no akai mengharap supaya hukum-hukum adat gitu tulisan/ bukuon supaya yo ingka alawo  ( Januari, Wawancara 2008)
( Kami Dayak Agabag sudah ada Hukum adat dari nenek moyang kami dulu, setiap kasus dan berhasil mereka selesaikan putusan denda yang mereka jatuhkan dulu akan kami pakai sekarang seberapa besar denda yang mereka putuskan akan kami ikuti. Biasanya putusan terhadap suatu masalah diketahui oleh kelahyak ramai. Misal ada suatu kasus orang mencuari buah dikebun orang lain dan dan terbukti rang tersebut mencuri akan di denda dengan Ayam Putih hal ini biasanya di lihat dari berat dan ringannya kasus dan putusan ini akan kami juga lakukan pada kasus yang serupa karena kami yakin bawa putusan yang dulu berhasil mendamaikan, makanya kami mengharap agar hukum adat ini supaya di tulis dan dibukukan supaya tidak hilang)
            Hukum adat Dayak Agabag masih dihormati oleh masyarakat Dayak Agabag hal terlihat pada banyaknya kasus yang diselesaikan oleh lembaga adat. Baik mulai dari kasus pencurian, perkawinan, perceraian, pereselingkuhan  sampai pada kasus pembunuahan akan diselesaikan oleh lembaga adat.  Hukum adat Dayak Agabag dapat di lihat dalam tabel berikut:
Tabel 5: HukumYang di Atur dalam Hukum Adat Dayak Agabag
No
Hukum
Istilah Adat

Perkawinan
Kematian
Pembunuhan
Pencurian
Penghiaan
Perselingkuhan
Penguasan Lahan/Hutan

Pemukulan
Petengkaran
Pampulutan
Agulid, Amakan/Angungkus
Ambasa
Antakow
Aguyai
Antongoi/Akatongoi
Sumuali, Anak Da Ulipon, Amagima, Taluun, Bati, Tanu
Ansagit/ Andawak
Ansagit/ Andawak
Sumber: Data Primer, diolah 2008
            Dalam penelesayan suatu kasus denda akan ditentukan oleh ketua adat dan apabila pada suatu kasusu lembaga adat mengelami kebuntuhan dalam menyelesaikan dikernakan orang yang bersalah tidak mengaku dan adat sulit untuk membuktikan karena tidak ada saksi dan bukti yang kuat, dalam masyarakat Dayak Agabag masih ada hukum tertinggi yang tidak diselesaikan oleh Ketua Adat atau Kepala Adat Besar atau pun anggota masyarakat teapi diputuskan oleh kekeuatan Alam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel berikut :
Tabel 6.  Hukum Adat Dayak Agabag Yang Memiliki Kekuatan Hukum yang Tertinggi dan Hasilnya Tidak Dapat Di Gugat
No
Hukum
Model Penyelesaian
1




2

3
Dolop




Sumpa

Antugi
Sesorang yang dituduh atau pelaku diseruh menyelam dalam air dan siapa yang keluar duluan dia yang bersalah/pelaku hal ini dilakukan setelah ketua adat yang ditunjuk membacakan UOK

Dengan cara meminum darah anjing segar

Dengan cara memasukkan tangan pada air yang sedang mendidi dan siapa yang tangannya terbakar maka ialah pelakunya.

Sumber: Data Primer, diolah 2007
            Dalam hukum adat ini apapun yang putusannya itulah yang akan diterima oleh masyarakat tanpa menggugatnya. Untuk Dolop dan Tugi apabila sesorang bersalah melalui dengan kedua hukum tersebut tidak adalagi namanya denda adat tetapi yang ada  ”Taruhan” antara yang orang yang menudu dan dituduh sedangkan hukum sumpah tidak ada denda ataupun taruhan karena hukum ini menjaminkan nyawa dengan denda meninggal dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan lembaga adat.

c.2. Pembagian Wilayah dan Struktur Adat

            Pembagian wilayah adat Dayak Agabag pada tiga kecamatan lokasi penelitian yaitu Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung dan Kecamatan Sebuku untuk wilayah adat besar sudah berlangsung secara terun-temurun. Pembagian wilayah adat pada Kecamatan Sebuku di bagi dalam dua wilayah adat Besar  wilayah adat besar sungai Tikung dan Sungai Tulid sedangkan untuk Kecamatan Sembakung hanya satu wilayah adat besar dan Kecamatan Lumbis di bagi dalam tiga wilayah adat besar yaitu Lumbis Hulu, Lumbis Tengah dan Lumbis Hilir.
            Pada masing-masing wilayah adat ini hukum adatnya hanya satu yaitu hukum adat Dayak Agabag hal ini di pengaruhi oleh kepatuhan masyarakat Dayak Agabag terhadap hukum adatnya. Selain kepala adat besar pada setiap desa juga terdapat ketua-ketua Adat Desa. Di zaman yang kian hari kian berkembang hukum adat tetap memiliki eksistensi ditengah masyarakat hal ini terlihat dengan keberadaan kepala-kepala adat besar, ketua adat desa dan tokoh massyarakat. Dalam hukum adat selsilah penegaknya akan terus lestari seperti  silsilah nenek moyang dari pada masyarakat Tulid di sungai Tikung yaitu Pangiran Yaki Limbus setelah itu diturunkan kepada Pangiran Yaki Idong setelah itu Pangeran Yaki Tinunggung disusul Pangeran Yaki Lipai dan Terakir Yaki Batulis. Sedangkan untuk Sungai Tikung Keta Adat Besar secara berurutan di pegang oleh Pangeran Bangkangan ( Pangeran Pertama ), Pangeran Kumbang  ( Pangeran Kedua ), Pangeran Batumpuk ( Pangeran Ketiga ) dan yang sekarang adalah H. Pangeran Ismail. Untuk kecamatan Lumbis wilayah adat besar di bagi dalam tiga wilayah adat besar. Ketua adat besar  Lumbis Tengah   ( Pangeran Bakumpul ) dan Ketua adat besar Lumbis Hilir ( Pangeran Pantalon ). Dan Untuk Kecamatan Sembakung ( Alm. Pangeran Kumisi) sekarang dijabat oleh Bapak Pangasilan. Pengangkatan ketua adat besar ini bisa secara demokrasi bisa juga turun temurun, dalam hal ini ketua-ketua adat besar di Kecamatan Lumbis dan Sembakung adalah keturunan dari Pangeran Taali dan Luayang. Dalam kehidupan sehari-hari putusan ketua-ketua adat besar ini sangat dihormati dan dipatuhi tergantung jenis perkara yang diselesaikan adat, misalnya penyelesain masalah batas desa yang selalu di dasarkan secara historis batas adat desa tersebut dan pada waktu tertentu seluruh ketua adat baik ketua adat desa maupun ketua adat besar melakukan pertemuan yang dinama ILAU DAYAK AGABAG guna membahas hukum-hukum adat dan cara pelesatariannya. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur lembaga Adat Dayak Agabag dapat di lihat pada gambar 1 berikut ini.
 

 


BAB IV

HUKUM ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK AGABAG YANG MENGATUR DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT


BAB I
 TAHAPAN ACARA PERNIKAHAN/PAMPULUTAN dan BAGIAN-BAGIAN PULUT SERTA NAMA TEMPAYAN ATAU BARANG YANG HARUS DI BAWAH
Pasal 1
Hukum Adat Dayak Agabag dalam tahapan pernikahan ( paganduan ):
  1. Antamong/Kiab kabang/Anukang ( Tulid ) = Pertunangan/Tunagan
  2. Antakub/Anggulung = Acara Kawin
  3. Angidu
  4. Jika ada acara tambahan dari ayat 1 sampai ayat 3 harus dengan persetujuan kedua belah pihak yang di saksikan ketua adat dan tidak ada unsure paksaan dari salah satu pihak

Pasal 2
Antamong/Kiab Kabang/Anukang
1.    Antamong/Kiab Kabang/Anukang pihak laki-laki harus datang langusung ketempat pihak perempuan
2.    Jika pemuda yang mau di kawinkan tidak ikut dapat di wakilkan kepada pihak keluarga untuk mendatangi dan berbicara kepada pihak perempuan.
3.    Dalam Antamong/Kiab Kabang/Anukang pihak laki-laki harus membawah Bungkas sansiku, 10 keping Kain Sarung dan satu buah TEMPAYAN GULIYABAY ALAGANG
4.    Jika tempayan Guliyabay Alagang tidak ada dapat diganti dengan TEMPAYAN SAPUNG
5.    Pihak Perempuan wajib menjamu pihak laki-laki sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku di lingkungan Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag
6.    Antamong/Kiab Kabang/Anukang dapat batal jika dalam pembicaraan awal salah satu pihak menyatakan tidak mau di nikahkan.
7.    Jika Antamong/Kiab Kabang/Anukang telah terlaksana sebelum masuk pada Antakub dan ternyata pihak laki-laki menyatakan tidak mau di nikahkan maka tempayan yang di bawah pihak laki-laki pada saat Antamong/Kiab Kabang/Anukang tidak di kembalikan ( Lopos/Alopos)
8.    Jika Antamong/Kiab Kabang/Anikang telah terlaksana sebelum masuk pada Antakub dan ternyata pihak gadis yang di lamar  menyatakan tidak mau di nikahkan maka tempayan yang di bawah pihak laki-laki pada saat Antamong/Kiab Kabang/Anikang Wajib di Kembalikan semuanya ( Ansali )

Pasal 3
Antakub/Takub
  1. Antakub/Takub di laksanakan setelah pihak perempuan ANTIBUKU pada pihak laki-laki
  2. Antakub/Takub di laksanakan di kediaman pihak perempuan
  3. Pihak laki-laki berhak membawah sanak saudara ke tempat kediaman pihak perempuan
  4. Antakub/Takub pihak laki-laki membawah tempayan SAMPA LED 1 buah, Sapi 1 Ekor, Tempayan Manila 1 Buah, Tempayan Belayung 1 Buah, Tempayan Guliyabay Alagang 1 Buah, Agung Supuon 1 Buah, Agung Asilow 1 Buah sebagai pulut.
  5. Pada saat Antakub/Takub pihak laki-laki wajib membawah tempayang Guliabay Alagang untuk PANTAMILAN(PANDULUGAN) atau istilah lainnya.
  6. Atakub/Takub Pihak Lak-laki wajib memberikan 2 buah Tempayan Balau kepada pihak perempuan sebagai PAMAGUNAN atau KASUAYAN.
  7. Pada saat Antakub/Takub dilakukan prosisi Angkawin sesuai dengan tata cara Adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag.

Pasal 4
Angidu
1.    Angidu dilakukan setelah keluarga yang dinikahkan/nikah memiliki keturunan             ( anak ).
2.    Tempayan yang harus di bawah pada saat Angidu adalah Agung Supuon/Agung Asilow, Guliyabay, Binalayungan ( jenis tempayan baru ), 1 Buah Sapuk ( Sumpit ), 1 Buah Paliuk Supuon,  1 Buah Mangkulaw ( piring antik ), Lading sebagai pengganti Gayang ( Mandau ) yang memiliki makna untuk memotong tali pusat, 1 Buah Sasanggan Mayo.
3.    Angidu di langsungkan di tempat pihak perempuan/tempat mertua.







Pasal 5
Pangalusan/Angidu Damalia/Angidu Da Jangkol
Pangalusan/Angidu Da Malia/Angidu Da Jangkol adalah berhakirnya masa gadis seorang wanita oleh karena itu pihak laki-laki ( suami ) wajib memberikan tempayan Baalau 2 Buah.


BAB II
PERCERAIAN
Pasal 6
Perceraian
Perceraian dapat terjadi apabila pihak perempuan ( tunangan ) di nikahi orang lain ( Angalau ), pihak perempuan minta cerai ( danu agimpong ), pihak laki-laki minta cerai ( kusoi agimpong )

Pasal 7
Agalau
1.    Jika perempuan yang telah di lamar ( tinamangan ) dan atau perempuan yang sudah diberi purut ( pinulutan ) dirampas dan di nikahi orang lain      ( Inalau ) maka seluruh tempayan dan atau barang telah di terima dari suami yang pertama wajib di kembalikan ( Ansali )
2.    Laki-laki yang merampas (Nangalau ) diberi sangsi dengan membayar tempayan Guliabay Alagang kepada pihak pihak laki-laki yang tunangan dan atau istrinya dirampas sebagai LAGAI
3.    Perempuan yang di rampas atau yang meninggalkan suaminya karena ikut pada laki-laki lain seperti pada ayat 2 diberi sangsi dengan memberikan babi piara 5 kilan ( limo dangow ) kepada suami pertama sebagai LAGAI.
4.    Apabila kedua belah pihak (laki-laki yang merampas dan perempuan yang di rampas ) tidak mematuhi hukum adat seperti pada ayat 1,2 dan 3 maka kedua bela pihak akan di tuntut dengan hukum konstitusi dengan delik aduan perzinahan dan perempasan.

Pasal 8
Danu Agimpong
1.    Apabila pihak perempuan minta cerai ( agimpong ) maka seluruh tempayan dan atau barang yang telah di berikan wajib dikembalikan           ( sahliin )
2.    Apabila sudah memiliki anak, maka anak ikut kepada pihak laki-laki



Pasal 9
1.    Apabila pihak laki-laki yang menceraikan istrinya maka seluruh tempayan atau barang yang telah di berikan kepada pihak perempuan tidak di kembalikan atau lenyap ( lopos )
2.    Apabila telah memiliki anak, maka anak ikut kepada pihak permpuan dan laki-laki wajib memberikan ongkos kepada anaknya sampai dianggap mandiri.


Pasal 10
Angalampas/Merampas Tempayan
1.    Apabila pihak perempuan ( istri ) angimpong dan pihak perempuan tidak mau mengembali tempayan maka pihak laki-laki dapat merampas tempayan yang telah di berikan sebelumnya.
2.    Seberapa barang yang di dapat pada saat merampas maka itulah tempayan atau barang yang di dapat kembali dan pihak laki-laki tidak dapat menuntut tempayan atau barang lainnya.


Pasal 11
Angadamas
1.    Angadamas adalah tindakan perempuan yang merampas tempayan atau barang dari pihak perempuan yang di curigai berselingkuh dengan suaminya  sebagai dasar untuk untuk mempermasalahkan di adat.
2.    Apabilah tuduhan tidak terbukti orang yang angadamas akan di berikan sangsi sesuai dengan hukum adat dan tempayan atau barang yang di Damas warus di kembalikan.


BAB III
PERBUATAN YANG MENYIMPANG DARI ADAT
Pasal 12
Kusoi Batunangan atau Baandu Akatongoi
1.    Akatongoi da Dalaa adalah seorang laki-laki yang  memiliki hubungan dengan seorang gadis tetapi laki-laki tersebut memiliki tunangan atau istri  dan hubungan tersebut tidak terjadi hubungan badan serta hubungan tersebut di dasari suka sama suka. Maka di ancam dengan denda dengan ketentuan sebagai berikut :
a.       Apabila laki-laki yang bertunangan atau menikah maka akan di denda dengan satu ekor sapi yang di berikan kepada pihak tunangan atau istri.
b.      perempuan bujang yang terbukti memiliki hubungan dengan laki-laki yang bertunangan atau bersuami tersebut diancam dengan denda dengan 1 ekor babi piara yang 4 kilan             ( empat langow ).
c.       Apabila hal tersebut masih di ulangi maka pihak laki-laki diancam dengan denda 5 ekor sapi dan perempuan bujang diancam dengan denda 1 Guliyabai Alagang yang di berikan kepada  pihak tunagan atau istri.
d.      Apabila gara-gara permasalahan seperti pada ayat 1 pihak tunangan atau istri meminta cerai ( agimpong ) tetapi pihak laki-laki telah didenda ( antaak ) seperti ketentuan pada point a, b dan c tetapi tunagan atau istri tetap minta cerai ( agimpong ) maka tempayan atau barang yang telah berikan oleh pihak laki-laki wajib di kembalikan dan anak harus ikut pada pihak laki-laki bagi bekeluarga.
e.       Apabila gara-gara permasalahan seperti pada ayat 1 pihak tunangan atau istri meminta cerai ( agimpong ) tetapi pihak laki laki  tidak didenda ( antaak ) seperti ketentuan pada point a, b dan c tetapi tunagan atau istri tetap minta cerai ( agimpong ) maka tempayan atau barang di berikan oleh pihak laki-laki tidak di kembalikan ( lopos)

2.    Akatongoi da Dalaa adalah tindakan seorang laki-laki atau yang  telah memiliki tunangan dan atau menikah hubungan tersebut terbukti terjadi hubungan badan yang di dasari suka-sama suka. Maka di denda dengan ketentuan sebagai berikut.
a.    Pihak Laki-laki diancam dengan denda lima ekor sapi yang diberikan kepada   tunagan atau istri.
b.    Pihak perempuan yang masih bujang diancam dengan denda dengan 2 Guliyabay Alagang yang diberikan kepada tunangan atau istri laki-laki.
c.    Apabila pihak perempuan bujangan meminta pertanggung jawaban kepada laki-laki bertunangan atau beristri laki-laki harus bertanggung jawab selama diijinkan oleh tunagan atau istri.
d.    Apabila pihak perempuan bujangan meminta pertanggung jawaban kepada laki-laki bertunagan atau beristri laki-laki harus bertanggung jawab tetapi tidak di ijinkan oleh tunangan atau istri maka laki-laki tersebut tidak dapat di tuntut pertanggung jawaban oleh pihak perempuan bujangan

3.    Akatongoi da Danu Abandu adalah tindakan seorang laki-laki atau yang  telah memiliki tunangan atau sudah beristri dengan terbukti memiliki hubungan dengan perempuan yang bertunangan atau bersuami atau sebaliknya maka akan diancam dengan didenda sebagai berikut :
a.    Pihak laki-laki  di denda 5 ekor sapi, 1 Buah Guliyabai Alagang yang di berikan kepada pihak istri dan 5 ekor sapi 1 Buah Guliyabai di berikan kepada suami perempuan yang di kacau.
b.    Pihak perempuan didenda 5 ekor sapi 1 Buah Balayung yang di berikan kepada suami dan 5 ekor sapi 1 buah Balayung yang diberikan kepada istri laki-laki yang memiliki hubungan denganya
c.    Apabila kedua belah pihak tidak mau membayar denda maka kedua belah pihak di laporkan kepada Kepolisian Negara Rebuplik Indonesia dengan Tuduhan Perzinahan, Penipuan.
d.    Apabila gara-gara permasalahan di atas terjadi perceraian terhadap pihak-pihak yang bersangkutan maka, seluruh tempayan atau barang pulut terhadap perempuan yang memiliki suami tetapi terbukti memiliki hubungan dengan laki-laki lain dikembalikan ( SALIIN ) dan laki-laki yang beristri terbukti memiliki hubungan dengan perempuan tidak dapat menuntut tempayan dan barang pulutnya kepada pihak istrinya.
e.    Apabila sudah didenda tetapi  tetap terjadi perceraian dan atau perceraian salah satu pihak  maka akan berlaku kebalikan dari pada pasal 12 ayat 3 point d serta denda di kembalikan
f.     Apabila hal tersebut masih di ulangi maka denda di lipat 2 kali dan seterusnya.


Pasal 13
                    Danu Batunagan atau Baandu akotongoi

1.    Akatongoi da Mamulok adalah tindakan seorang perempuan yang memiliki tunangan dan atau suami  yang terbukti memiliki  hubungan dengan seorang pemuda tetapi tidak terjadi hubungan badan. Maka di ancam dengan denda dengan ketentuan sebagai berikut :
a.    Apabila perempuan yang bertunangan atau bersuami maka akan di denda dengan satu ekor sapi yang di berikan kepada pihak tunangan atau suami
b.    Pemuda yang terbukti memiliki hubungan dengan perempuan  yang bertunangan atau bersuami tersebut didenda dengan 2  buah Guliyabay  Alagang.
c.    Apabila hal tersebut masih di ulangi maka pihak perempuan yang bertunangan atau bersuami didenda 3 ekor sapi dan pemuda  didenda 3 Guliabay Alagang yang di berikan kepada  pihak tunagan atau Suami.
d.    Apabila gara-gara permasalahan seperti pada ayat 1 pihak tunangan atau suami menceraikan ( agimpong ) terhadap istrinya yang telah melakukan kesalahan tetapi perempuan telah didenda     ( antaak ) seperti ketentuan pada point a, b dan c maka tempayan atau barang di berikan oleh pihak laki-laki tidak dapat di tuntut  kembali dan anak harus ikut pada pihak perempuan dan denda seperti pada point a,b,c harus di kembalikan.
e.    Apabila gara-gara permasalahan seperti pada ayat 1 pihak tunangan atau suami meminta cerai ( agimpong ) karena pihak  perempuan  tidak  didenda ( antaak ) seperti ketentuan pada point a, b dan c selama 3 bulan maka tempayan atau barang di berikan oleh pihak laki-laki  wajib di  kembalikan ( sahliin).

2. Akatongoi da Mamulok adalah tindakan seorang perempuan yang  telah memiliki tunangan dan atau suami yang memiliki hubungan dengan laki-laki yang bukan tunagan dan atau suaminya dan hubungan tersebut terbukti terjadi hubungan badan. Maka diancam dengan  denda dan  ketentuan sebagai berikut.
g.    Pihak Perempuan atau istri didenda tujuh ekor sapi yang diberikan kepada   tunagan atau suami.
h.    Pihak laki-laki  yang masih bujang di denda dengan 2 Guliyabay Alagang yang diberikan kepada tunangan atau suami
i.      Apabila laki-laki yang sudah bertunangan maka laki-laki tersebut didenda 3 Guliyabay Alagang yang di berikan kepada suami perempuan yang dikacau.
j.      Apabila laki-laki yang sudah istri dan anak maka laki-laki tersebut didenda 5 Guliyabay Alagang yang diberikan kepada suami perempuan yang dikacau.
k.    Apabila pihak perempuan telah di denda dan suaminya menceraikan maka barang atau pulut(Jujuran) tidak dapat dia tuntut kembali kepada pihak perempuan serta denda seperti pada point a wajib di kembalikan.
l.      Apabila pihak tunangan atau istri serta laki-laki yang memiliki hubungan tidak sah dengan istri atau tunangan orang lain tidak di denda selama 3 (tiga) bulan maka dan pihak suami atau tunangan menceraikan istri  atau tunangannya karena gara-gara permasalahan tersebut di atas maka tempayan atau barang  yang di berikan kepada pihak perempuan wajib di kembalikan seluruhnya dan kepada pihak istri atau tunagan  dan laki-laki yang memiliki hubungan dengannya di denda masing-masing 2 Guliyabay Alagang dan apabila mereka tidak membayar denda tersebut maka pihak suami atau tunangan dapat melaporkan kedua pihak kepada kepolisian Negara Rebuplik Indonesia dengan dalil perzinahan dan penipuan.



BAB IV
Apagali
Pasal 14
Mamulok Apagali Da Dalaa ( Pemuda Menghamili Seorang Gadis)
  1. Apabila seorang laki-laki bujangandan atau Laki-Laki beristri menghamili seorang gadis dan atau bertunangan atau bersuami yang di lakukan sendiri dan didasari rasa suka sama suka maka diancam dengan denda dan ketentuan sebagai berikut:
    1.  Kedua belah pihak harus dinikahkan
    2.  Apabilah pihak laki-laki tidak mau bertanggung jawab maka pihak laki-laki didenda dengan ancaman 5 ekor sapi 1 guliyabai Alagang 1 Manila dan 1 Balayung.
    3. Pihak Permpuan dengan Tunagan atau Suami berlaku hukum Apeba dan apabila pihak suami perempuan yang bertunangan atau suami tidak mau lagi terhadap perempuan yang bersangkutan maka purut laki-laki tersebut harus dikembalikan sesuai dengan kewenangan ketua Adat.
    4.  dan apabila pihak laki-laki  tidak membayar denda tersebut maka akan dilaporkan kepada kepolisian Negara Rebuplik Indonesia dengan dalil perzinahan dan penipuan.
  2. Apabila seorang laki-laki bujangan menghamili seorang gadis yang perbuatannya dengan cara memaksa atau dengan cara membius seorang gadis maka laki-laki tersebut diancam dengan denda dan ketentuan sebagai berikut:
    1. Dinikahkan
    2. Kalau laki-laki tersebut tidak mau bertanggung jawab maka akan di denda 5 ekor sapi, 3 Guliyabai Alagang, 1 Manila, 1 Balayung
    3. Kalau laki-laki yang bersangkutan tidak mau membayar maka laki-laki tersebut di laporkan kepada pihak kepolisian dengan DALIL kesalahan Pemerkoasaan



 Pasal 15
                                             Lebih Dono Ulun  Apagali Da Dalaa
                              ( Lebih dari satu orang Menghamili Seorang Gadis)
  1. Apabila  terbukti lebih dari satu orang  laki-laki bujangan menghamili seorang gadis yang didasari rasa suka sama suka maka kepada pihak-pihak yang bersangkutan tidak dapat di tuntut secara adat  karena perbuatan di atas kesalahan pihak perempuan yang mau menjajakan kehormatannya.
  2. Apabila terbukti lebih dari satu orang  laki-laki bujangan menghamili seorang gadis yang pada awalnya dengan memaksa, mengancam dan atau dengan cara membius maka kepada pihak-pihak akan diancam dengan denda sebagai berikut :
    1. Masing-masing yang bersangkutan di denda 5 ekor sapi, 2 Guliyabai Alagang,1 Manila, 1 Balayung.

Pasal 16
Apeba
  1. Apeba adalah suatu kejadian dimana sesorang perempuan yang memiliki tunangan tetapi di hamili orang lain tetapi laki-laki  yang punya tungan tetap mau terhadap perempuan tersebut maka akan berlaku hukum sebagai berikut :
a.    Pihak tunangan didenda mengembalikan seluruh purut yang sudah diberikan kepada pihak perempuan dan 1 Ekor Babi sebagai perdamain.
b.    Pihak Laki-Laki yang menghamili didenda 1 ekor sapi 1 Guliyabay Alagang
  1. Apabila laki-laki yang menghamili tetap bertanggung jawab terhadap gadis yang dihamilinya ( tunangan orang lain ) maka pihak tuangan gadis tersebut berhak mendapatkan kembali seluruh tempayan dan barang di berikan serta pihak laki-laki yang menghamili tersebut tetap mendapat denda 1 buah Guliyabay Alagang.


 BAB V
MENGANCAM
Pasal 17
Pangancaman dengan kata-kata dan yang diancam memperkarakannya di ADAT maka seseorang yang mencam didenda dengan 2 buah Tajau

 
Pasal 18
Mengancam dengan benda tajam atau senjata tajam dan yang bersangkutan memperkarakanya di ADAT maka sesorang yang mengancam dengan benda tajam atau senjata tajam didenda 1 Buah Sapung


BAB VI
AGUYAI ( MENGHINA )
Pasal 19
Apabila sesorang terbukti menghina terhadap sesorang maka yang menghina di denda      1 ekor babi dan 1 buah sapung
Pasal 20
Apabila sesorang/kelompok /suku lain menghina terhadap suku/kelompok masyarakat  lain maka di denda 3 ekor sapi

Pasal 21
Apabila sesorang memukul orang lain apapun alasannya dan yang di pukul memperkarakanya di ADAT maka yang memukul didenda 1 Guliyabay Alagang

Pasal 22
Apabila sesorang memukul orang lain apapun alasanya dan yang di pukul mengeluarkan darah maka yang memukul didenda 1 ekor sapi dan 1 buah Guliyabai Alagang

BAB VII
PEBUNUHAN
Pasal 23
AMBASA
1.    Setiap orang yang melakukan pembunuhan baik sengaja maupun tidak di sengaja maka kepada pelaku di kenakan hukum AMBASA
2.    Hukum AMBASA seperti yang dimaksud pada pasal 23 ayat 1  di atur dalam Hukum Adat tersendiri.



BAB VIII
KETENTUAN HARGA TEMPAYAN
Pasal 24
No
Nama Tempayan
Harga
Keterangan
1
Sampa Ogong
Rp 8.000.000
Daerah Sungai Tulid Tetap Menggunakan Haraga sesuai dengan Hasil ILAU Di Desa Lubok Kec. Sembakung
2
Balayung
Rp 2.500.000
3
Guliyabai Alagang
Rp 1.000.000
4
Agung Supuon
Rp 2.000.000
5
Agung Asilow
Rp 1.500.000
6
Agung Kolobot/Korobot
Rp    500.000
7
Sapung
Rp    750.000
8
Manila
Rp  2500.000
9
Tajau Alagang
Rp    750.000
10
Pampalang Malid
Rp 1.000.000
11
Sanigon Dala
Rp 1.000.000
12
Solong
Rp 1.000.000
13
Salaminon
Rp 1.000.000
14
Sibuda
Rp    750.000
15
Bodot
Rp 1.000.000
16
Sinalapa
Rp 1.000.000
17
Lumadut
Rp 1.500.000
18
Mangkasulon
Rp 2.000.000
19
Busak Lawai
Rp 1.000.000
20
Balau
Rp    150.000
21
Inalal
 Rp   750.000




 
BAB V

HUKUM ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK AGABAG YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HAK ULAYAT



Hak ulayat merupakan semua cakupan penyebaran Masyarakat Hukum Adat  Dayak Agabag pada Kecamatan Lumbis, Sembakung dan Kecamatan Sebuku dimana daerah tersebut memiliki ikatan batin terhadap masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag. Ikatan batin yang dimaksud adalah karena di hutan hak ulayatlah mereka memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Hak Wilayat gino sadjio nu tanah baya di katanan tinatangan numatuo dali ditaka. Tana gino sino hubungan no dito sobob da daerah gino intokon taka nayag. Jadi harus jinaga taka sama-sama
            Selain hal diatas, hak ulayat  pada dasarnya adalah milik bersama oleh masyarkat  Hukum Adat Dayak Agabag tetapi pada perkembangan dan bersamaan dengan adanya desa maka mereka membagi hak ulayat tersebut untuk menjadi hak ulayat masyarakat Dayak Agabag yang tinggal pada masing-masing desa. Dan perlu diketahui keberadaan desa di daerah Dayak Agabag memiliki asal usul sesuai dengan adat istiadat dimana nama desa merupakan nama tanah atau daerah asal masyarkat tersebut meskipun mereka di relokasi oleh pemerintah pada lain tempat. Sebagai contoh kasus pada tagun 1981 – 1987 masyarakat Desa Siawang, Saludan, Sumalumung, Samalat, Dabulon, Liang, Tubus, nainsid, Ngawol, Sumantipal, Nantukidan, Bulu Laun Hilir dan lainnya  di pindahkan dari tempat asalnya ke Lokasi  Intin dan beringin tetapi nama desa tersebut diatas tetap dan nama desa ini adalah nama sungai atau tanah adat asal mereka dan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag sangat menghormati keberadaan wilayah adat tersebut dan tidak benani semena-mena di daerah tersebut sebelum ijin kepada ketua adat mereka. Hal ini tergambar pada kehidupan sehari hari, dimana masyarakat desa lain yang ingin mencari ikan atau mencari hewan buruan di Sungai Sumalumung, Samalat atau Saludan atau wilayah Adat desa lain walupun sesama masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag harus mendapatkan ijin dari ketua adat desanya dan apabila tidak ada ijin msayarakat desa tersebut akan mendenda orang tersebut sesuai dengan hukum adat Dayak Agabag. Selain itu hukum adat Dayak Agabag juga mengatur penggunan lahan. Apabila masyarakat lain desa masuk atau meminta wilayah adat desa tertentu untuk dimiliki karena mungkin didesa asalnya diusir atau lari mereka harus memberikan “ Perempuan Perawan” kepada masyarakat Desa yang punya wilayah dalam bahasa daerahnya ( Ulipon ). Ulipon tersebut harus mengabdi kepada masyarakat desa tersebut dan menjadi orang yang harus patuh dan tunduk kepada masyarakat desa yang memberikan wilayahnya sepanjang hidupnya. Selain itu kalau salah satu masyarakat dari desa lain ingin meminjam wilayah adat desa lain untuk berladang atau berkebun yang sifatnya sementara orang yang memijam lahan tersebut harus membayar dengan 1 ekor Sapi  dan manik lama 12 pasang dalam bahasa daerahnya disebut (Bungkas Sangabitan) hal tersebut dilakukan apabila lahan yang dipinjam adalah berupa hutan perawan dalam bahasa daerahnya( Giman/Gimban), lain halnya kalau yang dipijam adalah hutan jagau atau sudah pernah digarap biasanya orang yang meminjam hanya membagi hasil kepada masyarakat yang punya yang dalam bahasan daerahnya ( Antalawai ). Selain aturan hukum adat terhadap orang luar  terdapat juga hukum yang tidak tertulis tetapi dihormati terhadap penggunaan lahan kepada masyarakat desa yang punya wilayah adat dimana dalam penggunaannya siapa yang menggarap atau menggunakan duluan suatu lahan berarti itu sudah tidak dapat diganggu oleh orang lain dan diakui oleh ketua adat dalam bahasa daerahnya di sebut ( Taluun/Gima). Dari uraian diatas jelas bahwa masyarakat hukum Adat Dayak Agabag menghormati hukum adatnya termasuk hukum pengaturan hutan. Karena dalam hukum adat masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang berlaku secara universal kepada masyarkat Dayak Agabag termasuk masyarakat lain yang bukan Dayak Agabag tetapi tinggal atau yang berdomisili diwilayah adat masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag. Sebagai contoh orang yang bersuku Dayak Lundayeh di daerah malinau melakukan pembabatan hutan atau berladang tanpa sepengetahuan orang yang punya wilayah adat, begitu pula dengan orang luar seperti orang bugis, jawa atau Timur ayng tinggal di wilayah adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag akan menjadi objek dari pada Hukum Adat tanpa kecuali.
a. Nama dan Dasar Hak Ulyat Dayak Agabag Menurut Hukum Adat    Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag
            Berdasarkan pada hukum adat Dayak Agabag secara terun tenurun  nama Hak Ulayat Dayak Agabag ( Ilau Dayak Agabag di Kelompok Intin ) adalah TANA NU AKION yang memiliki arti suatu luasan wilayah dimana suku Dayak Agabag hidup secara terun temurun dari nenek moyang (tanah nayagan nu Ulun Agabag intad da akion ili) hal ini di dasarkan pada ;
  1. Setiap itakau angkibala da woktu makau da katanaan aguyum da kiyum baya da inakano bokon da katanaan ulun matuo intad di takau pasti minagu gitu no tanah nu akion ili.
      (Setiap kita bertanya kepada kita kehutan mencari nafka orang tua dan nenek kita bilang kita mencari di sini karena inilah tanah/wilayah nenek moyang kita)
  1. Atu yak bengalan da Ulun Agabag kano pembatasan da masalah nu tanah untuk intokon aguyum da bayag namun kano terlepas akiijin da Ukum nu Adat da mengenai da pembatsan da tanah adat masing-masing nu pagun yang pongo senepakati.
            ( Semua masyarakat Dayak Agabag dapat mencari nafka dimana saja diluasan cakupan wilayah Dayak Agabag asal meminta ijin kepada masyarakat yang punya wilayah adat sesuai dengan hukum adat Dayak Agabag)
Dasar Kongkrit Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang tidak bisa di pungkiri adalah hal-hal berikut ini :
    1. Hak Ulayat secara adat sudah ada dari jaman dahulu.
    2. Masih adanya pewaris Hak Ulayat ( Masih sino ulun kayampu da tanah)
    3. Penguasaan tanah adat harus seijin Ketua adat daerah yang bersangkutan.
    4. Pembagian Hak Ulayat masing-masing daerah sudah ditentukan dari dulu yang tidak dapat diubah kecuali ada kesepakatan baru di atur oleh Dewan Adat Dayak Agabag dan Lembaga Adat Dayak Agabag.
    5. Hak Ulayat berupa Tanah, Hutan, Sungai beserta hasil yang terkandung di dalamnya yang dipelihara oleh nenek moyong dulu sebelum Indonesia merdeka.
    6. Hak Ulayat Dayak Agabag terdiri dari hak Ulayat Bersama dan Hak Ulayat perseorangan menurut hukum adat.
    7. Adanya Hukum Adat yang mengatur tentang penguasaan hutan.
    8. Masih adanya Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang patuh dan menghormati hukum adatnya.



HUKUM ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK AGABAG YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAN LAHAN/ HUTAN HAK ULAYAT

BAB I
NAMA-NAMA HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HUTAN ADAT

Pasal 1
Tanu/Tandu
Tanu/Tandu adalah suatu tanda yang di tujukan kepada penguasaan hutan adat dalam artian bahwa telah direncanakan suatu luasan wilayah untuk di manfaatkan

Pasal 2
Bati/Babat
Bati/Babat adalah sesuatu yang di akui oleh masyarakakat Hukum Adat Dayak Agabag mengawali kepemilikan perseorangan dari tanah adat

Pasal 3
Lolot
Lolot adalah suatu batas wilayah adat satu desa dengan desa yang lain yang terdiri dari dua macam yaitu:
a.    Batas Alam : dapat berupa olot ( Pegunungan), Batu, Sungai, Igot dan Pohon .
b.    Batas Buatan : Kayu Ulin atau jalanan lintas batas.

Pasal 4
Giman/Gimbaan
Giman/Gimban adalah suatu luasan hutang yang masih perawan dan belum pernah dikelola dan masih di miliki kolektif

Pasal 5
Tabong
Suatu kewajiban yang berupa pajak kepada siapa saja yang mencari hasil hutan di suatu wilayah adat Dayak Agabag

BAB II
JENIS HASIL HUTAN YANG DI LINDUNGI
Pasal 6
Jenis tanaman yang di lindungi dan dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari adalah Daun Apa, Bantudu, Limpasu, Manging, Bunatol, Paluon, Labungan, Tamaka Angi, Silad, Iluy, Meranti, Kapur, Tengkawang, Sadaman, Mangagis, Ulapiu, Palaju, Pugi, Totungon, Buntung, Pulutan, Kalulaw, Dumokot, Kulibon, Kalamuku, Te, Pamutodon, Kilamu/Kayabon, Inangai, Luas, Lampun, Sangkulapa, Sakut, Tunyok, Panjuga, Pampalang Talisoy, Timbua, Lasing,

BAB III
LARANGAN
Pasal 7
Dilarang meramba hutan tanpa ijin dari  ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat

Pasal 8
Dilarang membakar hutan tanpa ijin dari ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat

 
Pasal 9
Dilarang memburu atau mencari ikan tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat

Pasal 10
Dilarang mencari atau mengumpul hasil hutan tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat


Pasal 11
Dilarang menjual tanah adat tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat

Pasal 12
Dilarang memberi tanda berupa ( Lolot, Tanu, Bati dll ) di suatu batas wilayah adat desa dengan desa yang lain tanpa persetujuan kedua belah pihak terlebih dahulu

Pasal 13
Dilarang menggunakan kekarasan, mengancam dalam menyelasaikan suatu sengketa batas arel Hak Ulayat

Pasal 14
Dilarang meramba atau menebang pohon di areal GUA SARANG BURUNG WALET masyarakat hukum adat Dayak Agabag sejauh 1KM ke seluruh penjuru mata angin dari Gua Sarang Burung Walet



BAB IV
SANKSI-SANKSI
Pasal 15
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang  meramba hutan tanpa ijin dari ketua ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka akan di denda 1 ekor sapi setiap ektarnya ( Salalab ) atau 2 Guliyabay Alagang tiap ektarnya

Pasal 16
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang membakar hutan tanpa ijin dari ketua adat dan mengakibatkan kerusakan hutan masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka akan di denda melakukan penanaman kembali dan membayar denda e ekor sapi kepada pemilik lahan atau hutan

Pasal 17
Jika terdapat seseorang atau kelompok orang memburu atau mencari ikan tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka hasil yang di peroleh akan disita dan didenda 1 buah Guliyabai Alagang

Pasal 18
 Jika sesorang atau kelompok orang mencari atau mengumpul hasil hutan tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka :
a.    Jika Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag yang melakukan pelanggaran maka hasil yang di peroleh disita seluruhnya dan didenda 1 Guliyabai Alagang
b.    Jika yang melakukan pelenggaran bukan masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag maka hasil yang diperoleh akan disita dan didenda 10 kali lipat dari hasil yang diperoleh serta 2 buah Guliyabay Alagang.


Pasal 19
Jika terdapat orang/kelompok orang yang menjual tanah adat tanpa ijin ketua adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag setempat maka;
a.    Jika yang menjual salah satu anggota masyarakat hukum Adat Dayak Agabag maka orang tersebut di larang lagi untuk merimba atau membuka lahan baru
b.    Jika yang menjual orang lain dengan tidak memiliki surat-surat kepemilikan sah secara Hukum Adat atau pun secara Hukum Positif maka orang tersebut didenda 10 ekor sapi dan tanah yang dia jual akan diambil kembali oleh Lembaga Adat Dayak Agabag.

Pasal 20
Jika terdapat orang atau kelompok orang yang memberi tanda berupa ( Lolot, Tanu, Bati dll ) di suatu batas wilayah adat desa dengan desa yang lain tanpa persetujuan kedua belah pihak terlebih dahulu maka yang memberi batas di anggap menyerobot dan didenda 1 ekor sapi dan 1 buah Guliyabai Alagang

Pasal 21
Jika terdapat seseorang atau kelompok yang menggunakan kekarasan atau mengancam orang lain  ( sesama masyarakat hukum Adat Dayak Agabag ) dalam menyelasaikan suatu sengketa batas arel Hak Ulayat maka akan didenda 3 ekor sapi dan 2 buah guliyabai Alagang

Pasal 22
Jika terdapat orang atau kelompok orang atau badan hukum usaha yang  meramba atau menebang pohon di areal GUA SARANG BURUNG WALET masyarakat hukum adat Dayak Agabag tanpa ijin dan melewati ketentuan  5 KM ke seluruh penjuru mata angin dari Gua Sarang Burung Walet maka akan di denda membayar seluruh penghasilan dari pada isi Gua Sarng Burung Walet tersebut.


BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA BATAS AREL HAK ADAT

Pasal 23
Apabila terdapat perseorangan atau kelompok masyarakat masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang tidak jelas atau memperebutkan batas hak adatnya dengan batas hak adat kelompok masyarakat yang lainnya maka akan dilakukan tahapan sebagai berikut:
a.    Ketua Lembaga Adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag yang kelompoknya bersengketa segera melakukan pertemuan untuk membahas pembagian wilayah atau batas antar kelompok tersebut secarah masyawarah dan kekeluargaan.
b.    Mensosialisasi hasil kesepakatan tersebut kepada anggota masyarakat adat
c.     Arel yang di sengketakan dapat di jadikan hutan kas atar kedua kelompok apabila di sepakati.
d.    Apabila tidak ada kesepakatan atar ketua adat yang batasnya bersengketa maka permasalahan dapat di ajukan kepada Adat Besar di wilayah Masing-Masing.
e.    Kepala Adat Besar segera melakukan pertemuan membahas permasalahan tersebut
f.      Kelompok masyarakat adat yang bersangketa batas atau lahan membuat silsila keturunan dan keterangan yang menjadi dasar argumentasi mempertahankan Wilayah dan hal inilah yang menjadi pertimbangan Kepala Adat Besar
g.    Keputusan Kepala Adat Besar adalah keputusan pinal dan tidak bisa diganggu gugat.
h.    Permasalahan sengketa batas atau lahan aeral hak adat tidak dapat di selesaikan di kecamatan atau jenjang pemerintahan manapun  karena mempengaruhi ke eksistensian hak adat masyarakat hukum adat Dayak Agabag kecuali secara yuridis formal di pengadilan


 BAB V
PENUTUP
                   Kesimpulan dan Saran


A.           Kesimpulan dan Saran

             Masing masing suku di indonesia memiliki hukum adat masing masing yang berbeda-beda pula. Hukum adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur-unsur kebersamaan.
            Sifat komunalistik disini menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang sering disebut dalam bahasa hukum sebagai hak ulayat. Tanah ulayat merupakan kepunyaan atau milik bersama yang diyakini sebagai peninggalan nenek moyang kepada kelompok masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama kehidupan dan penghidupan kelompok masyarakat sepanjang masa. Di sinilah tampak pada  kelompok masyarakat tersebut  memiliki sifat yang religius atau unsur keagamaan hubungan hukum antara para warga kelompok masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya.
            Hukum adat dan Hak Ulayat merupaka nama yang diberikan dan dilindungi oleh undang-undangan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan antara suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu. Masyarakat hukum adat sendiri tidak memberikan nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.  
            Hak Ulayat dalam pengertian hukum merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai lingkungan hidup para warga atau masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah yang ada dalam wilayah tersebut. Wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban tersebut timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah terun-temurun antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Selain itu juga merupakan hubungana batiniah yang bersifat religio-magiisch, yaitu berdasarkan kepercayaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, bahwa wilayah tersebut merupakan peninggalan nenek moyang yang dipergunakan bagi kelangsungan hidup dan penghidupan sepajanjang masa. Maka dapat dikatakan hubungan itu sebagai hubungan abadi.
             Dalam perpustakaan hukum adat Hak Ulayat disebut “ beschikkingsrecht “. Beschikkingsrecht adalah nama yang diberikan oleh Van Vollenhoven untuk menyebutkan Hukum Adat dan Hak Ulayat. Menurut Van Vollenhoven  terdapat enam tanda-tanda khususnya yaitu :
1.    Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warga-warganya dapat dengan bebas mempergunakan tanah, air dan berburu binatang liar yang terletak diwilayahnya.
2.    Orang asing ( luar masyarakat hukum adat ) hanya boleh mempergunakan tanah tersebut dengan ijin dapat dipandang suatu delik.
3.    Untuk penggunaan tanah tersebut kadang-kadang bagi warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar masyarakat hukum adat selalu dipungut recognisi.
4.    Masyarakat adat bertanggung jawab terhadap delik-delik tertentu yang terjadi dalam wilayahnya, dimana delik tersebut tidak dituntut pelakunya.
5.    Masyarakat adat tidak dapat melepaskan Hak Ulayat, memindah tangankannya ataupun mengasingkan secara menetap.
6.    Masyarakat adat masih mempunyai campur tangan ( intensif atau kurang intensif ) terhadap tanah-tanah yang sudah diolah.
            Berdasarkan hal dan uraian pada pada bab I hingga bab penutup buku ini Hukum Adat Dayak Agabag terbukti tetap eksis dan tidak dapat di katakana oleh pihak lain tidak eksis dengan berbagai motif kepentingan serta  eksistensinya Hak Ulayatnya harus terus dilestarikan oleh generasi setiap pribadi masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag.